Jumat, 08 Februari 2008

PENGOSONGAN KAMPUS DALAM TINJAUAN EKONOMI POLITIK

OLEH ; Vladimir Ake*

Wacana pengosongan kampus bergulir kembali di UNM, pelaksanaan rakerda di kota pare - pare yang dilakukan birokrasi UNM telah melahirkan rekomendasi tentang pengosongan kampus pada malam hari. Wacana ini bukan hanya muncul pertama kalinya akan tetapi hampir dari setiap inseden atau kasus perkelahian tejadi di UNM, hal tersebut selalu menjadi tawaran atau solusi terakhir dari masalah yang ada. Dan selama itupun juga menjadi penolakan dari mahasiswa khususnya yang berada di lembaga kemahasiswaan. Maklum pengosongan ini dianggap sangat membatasi mahasiswa dalam melakukan aktifitanya untuk berkreasi di dalam kampus.
Sebagaimana sebelum - sebelumnya wacana ini menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan akademisi, baik itu antar mahasiswa, maupun antarbirokrasi dengan mahasiswa. Hal ini terjadi karma dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Bagi yang pro, wacana tersebut dilihat sebagai sebuah hal yang sangat efektif untuk mencegah terjadinya perkelahian antar mahasiswa, mengingat bahwa selama ini kebanyakan insiden yang terjadi dimulai dari pemukulan oleh oknum mahasiswa terhadap mahasiswa lain padamalam hari dan berlanjut pada peran antar kelompok pada siang harinya. Hal ini juga dipicu oleh ketidaksadaran oknum mahasiswa yang melakukan tersebut karna mungkin kurang tidur atau penyebab lain. Dan bagi yang kontra wacana tersebut dianggap sangatlah merugikan mahsiswa, soalnya kerja – kerja kelembagaan akan menjadi terhambat. Hal ini disebabkan karna jadwalkuliah yang semakin padat disiang hari sehingga kerja – kerja kelembagaan hampir semua di lakukan pada malam hari. Kedua pendapat tersebut masing – masing diwakili oleh birokrasi dan mahaisiswa yang tidak terlibat dilembaga sebagai kelompok pro dan pendapat yang kontra lahir dari pengurus lembaga kemahasiswaan.
Memilih kedua pendapat tersebut, seharusnya bukan berdasarkan pada kepentingan kita masing – masing, akan tetapi harus dilihat dari interpretasi rasionalitas, sehingga dapat juga di pertanggunjawabkan secara rasio dan tidak terlalu dinilai pragmatis. Paling tidak Ada beberapa perhatian penulis yang dapat dijadikan pertimbangan pertama, alasan politis, kasus ini mengingatkan kita pada era delapan puluhan dimana keluarnya kebijakan pemerintah melakukan normalisasi kampus yang akan mengganggu kelanggengan kekuasaan, dimana pada saat isu – isu politik menjadi wacana yang merebak dikampus. Kebijakan ini dikenal dengan NKK/BKK. Pengekangan mahasiswa dalam berkreasi didalam kampusdirasakan sampai era reformasi. Kegiatan diluar akademik dianggap sebagai suatu yang haram untuk dilakukan seperti diskusi tentang politik, apalagi penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang menindas rakyat. Peristiwa tersebut memiliki relevansi terhadap kondisi yang terjadi pada era sekarang ini termasuk wacana pengosongan kampus. Kita dapat menyaksikan di berbagai kampus pengekangan terhadap aktifitas mahasiswa diluar akademik (fersi birokrasi) terjadi diberbagai kampus khususnya di makassar. Model yang dipakai berbeda – beda, di UNHAS misalnya bagi mahasiswa yang akan melakukan diskusi harus melapor kepada satpan, itupun judul diskusi mereka harus diferifikasi oleh mereka. Di UMI mahasiswa yang dianggap kiri ( selalu melakukan perlawanan terhadap kebijakan yang merugikan) akan dikeluarkan dari kampus tersebut, di UNM bagi mahasiswa yang melakukan demonstrasi akan disiapkan preman untuk menghalangi. Dari gambaran tersebut dapat memunculkan sebuah asumsi bahwa wacana pengosongan kampus adalah bentuk dari kelanjutan dari proyek normalisasi kampus oleh birokrasi.
Asumsi tersebut muncul dari pemikiran saya yang melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang sangat lucu. Karna pengosongan kampus sebagai solosi dari perkelahian selama ini, adalah suatu hal yang sangat keliru. Ada beberapa hal kenapa saya mengatakan keliru. Pertama belum ada bukti secara obyektif pengaruh negatif keberadaan mahasiswa didalam lembaga kemahasiswaan terhadap tauran yang terjadi. Karna perlu diketahui bersama bahwa yang memicu pada malam hari terjadinya tawuran adalah oknum mahasiswa saja yang biasanya berada diluar lembaga kemahasiswaan.walaupun sebagian dari mereka adalah warga lembaga kemahasiswaan. Sehingga menurut saya, birokrasi tidak harus mengorbankan lembaga kemahasiswaan hanya karna prilaku salah satu oknum. Kedua Belum ada ketegasan aturan oleh birokrasi terhadap pelaku – pelaku yang telibat, yang seharusnya hal tersebut menjadi solusi yang tidak bias ditawar – tawar, Ketiga belum adanya maksimalisasi peran pengamanan (satpan) dikampus, seharusnya pihak pengamanan dikampus ini menjadi pemantau atau intelejen terhadap kegiatan mahasiswa didalam kampus pada malam hari, dan informasi tersebut menjadi refrensi bagi birokrasi untuk menegakkan aturan.
Pertimbangan kedua, selain pertimbangan politik, juga merupakan pertimbanga ekonomi. Pemakaian fasilitis oleh lembaga kemahasiswaan seperti listrik membuat pimbiayaan untuk alokasi ini tidaklah sedikit. Sehingga dengan pengosongan kampus diharapkan beban birokrasi untuk pembiayaan itu dapat dialihkan untuk sektor lain.. Alasan ekonomi ini mungkin akan sedikit rasional akan tetapi harus dengan pengkajian lebih jauh. Perlu saya informasikan bahwa dana yang turuk ke lembaga kemahasiswaan termasuk biaya listrik telpon, air dan lain – lain itu juga merupakan dana dari mahasiswa yang di bayar dalam bentuk sumbangan yang dipaksakan dan dikenal dengan SPP (sumbangan pembiayaan pendidikan). Serta dana lain dari pemerintah yang juga didapatkan dari hasil perampokan pemerintah terhadap rakyat lewat upeti yang bahasa idealnya dikenal dengan pajak. Sehingga menurut penulis suatu kewajaran jika dana tersebut dipergunakan untuk kepentingan mahasiswa dalam menumbuhkan potensinya guna membangun Bangsa dan Negara kedepan.
Apapun alasannya, wacana pengosongan kampus baik itu dari segi tinjauan politik maupun ekonomi tidaklah dapat dibenarkan. Mahasiswa bukan lagi manusia yang tidak sadar dan dapat di bodohi dengan sebuah retorika, akan tetapi mahasiswa yang saya kenal adalah manusia yang selalu berfikir rasioanal. Kita tidak akan pernah lagi menginginkan kejadian seperti orde baru yang melakukan pengekangan terhadap potensi mahasiswa dengan NKK/BKK-nya, walaupun sekarang masih dapat dirasakan keberadaannya. Saya kira satu kata untuk semua itu lawan..
Akan tetapi sebagai mahasiswa kita juga harus melakukan intropeksi diri terhadap apa yang telah kita lakukan untuk kepentingan rakyat yang selama ini rela menyumbangkan materinya untuk salahsatunya pembiayaan kita di kampus. Apakah seluruh kreasi dan aktifitas kita semua menyentuh dan membantu mereka dalam menghadapi segala kompleksitas persoalan yang dihadapi, atau mungkin juga telah mempersiapkan diri untuk membantu mereka. Sehingga anggapan sebahagian orang yang mengatakan keberadaan kita di lembaga kemahasiswaan hanya menikmati fasilitas yang ada tampa melakukan kegiatan yang menyentuh masyarakat yang selamaini mebiayai kita. Dan jangan sampai anggapan untuk mengosongkan kampus hanya karena melihat kita tidur gratis dikampus, main komputer gratis, nonton gratis serta gratis – gratis yang lain. Penulis kira semoga kita tidak seperti itu.

* Penulis adalah ketua komisi EKOPOL MAPERWA UNM dan anggota INTRAS Makassar.

Tidak ada komentar: