Minggu, 10 Februari 2008

M E N Y O A L F O R M A T K K N U N M

Oleh: ake
Pendidikan merupakan suatu hal yang tidak pernah selesai untuk selalu diperbincangkan, mungkin salah satunya karena dalam bidang ini terdapat berbagai persoalan yang tak kunjung selesai. Jangankan menemukan solusi, merumuskannya saja sangat sulit untuk dilakukan. Parahnya masalah pendidikan kita telah menjadi bahan celaan bagi masyarakat yang selama ini menaruh harapan yang sangat mulia dalam bidang pendidikan untuk kemajuan dan kesejahteraan mereka.
Dalam konteks perguruan tinggi, besar harapan akan adanya jargon tridarma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat menjadi solusi praktis terhadap persoalan–persoalan yang dihadapi masyarakat sekarang ini. Namun kita tidak perlu banyak berharap akan keinginan tersebut. Karena kualitas perguruan tinggi hari ini masih dipertanyakan. Munculnya kasus kekerasan dalam perguruan tinggi, praktek korupsi, kolusi, nepotisme, dan politisasi kampus bahkan sampai (mohon maaf) pelecehan seksual. Kasus-kasus inilah yang telah mewarnai buruknya kehidupan kampus yang dikenal dengan ilmiahnya.
Mengukur tingkat kualitas pendidikan tidak perlu jauh–jauh melihat hasil penelitian-penelitian para ilmuan itu. Kita cukup menghitung berapa orang ilmuan itu dinegeri ini yang mendapatkan hadiah nobel (bukan berapa, tapi adakah?), yang merupakan pengakuan internasional terhadap kualitas ilmuan. Keadaan tersebut salah satunya diakibatkan karena ilmuan dinegeri ini adalah ilmuan imitasi, gelar-gelar yang diperoleh dari ciplakan-ciplakan atau karya-karya orang lain. Lihat saja sarjana kita yang selesai dengan membuat skripsi, tesis atau disertasi yang merupakan ciplakan dari karya orang lain, ditandai dengan judul yang dipilih merupakan judul contekan yang setiap tahun tidak pernah berubah. Bahkan kita tidak dapat menyembunyikan bahwa perguruan tinggi di negeri ini memiliki kualitas paling buncit jika dibandingkan dengan perguruan tinggi dikawasan ASEAN. Malasyia yang baru membenahi perguruan tingginya pada tahun 1970-an, justru melampaui kualitas perguruan tingginya di negeri ini yang dulu menyuplai tenaga pengajar dari negara ini.
Salah satu yang memperburuk rendahnya kualitas pendidikan di perguruan tinggi ini sebagaimana dalam tulisan sebelumnya, karena masih adanya praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Perilaku ini tidak pernah hilang dalam setiap aktifitas di bidang pendidikan, terkhusus lagi di perguran tinggi. Mulai dari penerimaan mahasiswa baru, pelaksanaan proses belajar mengajar, sampai pada gelar sarjana yang diperoleh. Pada penerimaan mahasiswa baru misalnya persoalan transparansi kelulusan ujian baik itu jalur resmi maupun jalur khusus terkadang masih digelapkan. Pelaksanaan proses belajar mengajar yang cenderung mengeksploitasi mahasiswa, baik itu secara terus terang maupun secara terus-terusan, dan kesarjanaan yang diperdagangkan secara murahan.
Mengingat banyaknya persoalan yang dihadapi pendidikan kita hari ini khususnya di perguruan tinggi yang tidak mungkin diungkap semua dalam tulisan ini, maka kita dapat menelaah salah satu kasus yang bukan hanya diresahkan kalangan kampus tetapi juga masyarakat umum adalah pelaksanaan KKN (kuliah kerja nyata) yang merupakan salah satu kambing hitam bagi birokrasi kampus dalam memenuhi tridarma perguruan tinggi secara intrakulikuler khususnya pengabdian kepada masyarakat. Sangat jarang penelitian yang mengungkapkan urgensi pelaksanaan KKN sekarang bagi perkembangan masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di lokasi cenderung tidak mempengaruhi perkembangan masyarakat. Bahkan sebagian masyarakat menganggap keberadaan mahasiswa KKN hanya menambah beban di lokasi tersebut. Hal ini memang sering terjadi karena komunikasi yang dibangun sebelum menerjungkan mahasiswa ke tempat tersebut hanya dilakukan kepada pihak birokrasi yang memiliki jabatan penting. Sedangkan mereka yang ada di bawah hanya bisa kaget dan menerima secara terpaksa. Berbagai kasus misalnya ketidaktahuan para masyarakat akan datangnya mahasisiwa KKN, jangankan masyarakat, kepala desa saja nanti diberitahukan satu hari sebelum kedatangan mahasiswa.
Program-program yang ditawarkan mahasiswa KKN juga cenderung mengingatkan kita pada program ABRI masuk desa di era orde baru. Melakukan perbaikan selokan, cat pagar, pembuatan batas desa, sablon papan nama kepala desa, mungkin yang agak sedikit bagus adalah melakukan PPL 2 di lokasi. Hal-hal yang diharapkan dapat memacu dan memotifasi pembangunan daerah serta peningkatan kapasitas msyarakat dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi justru tidak terlihat. Maka suatu kewajaran ketika masyarakat tidak menaruh harapan besar kepada mahasisiwa KKN dalam membantu menyelesaikan permasalahan mereka. Seperti pemerataan pembangunan yang tidak adil, kemiskinan yang tidak diperhatikan oleh pemerintah, kesehatan dan pendidikan yang tidak terjangkau dan sebaginya.
Fenomena di UNM seperti hal tersebut, sudah menjadi keluhan bagi setiap mahasiswa yang selalu mempertanyakan urgensi adanya KKN. Akan tetapi belakangan ini UNM melakukan terobosan baru dengan merubah format KKNnya pada tahun 2006. Mahasiswa KKN dibagi menjadi dua kelompok yaitu Kelompok KKN wajar dan kelompok KKN reguler. KKN wajar diberikan tugas utama yaitu melakukan pendataan terhadap wajib belajar, buta aksara, dan hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut sedangkan KKN reguler berjalan seperti biasanya. Keberadaan format KKN wajar merupakan implikasi dari kerjasama pihak UNM dengan dinas pendidikan nasional yang biasa disebut-sebut sebagai proyek. Karena ini adalah proyek, maka semua mahasiswa yang terlibat dalam KKN wajar tersebut menerima dana operasional. Mencermati hal tersebut ada dua masalah yang dapat muncul dan dipandang secara berbeda. Pertama, format tersebut merupakan hal yang sangat membantu dinas pendidikan dalam mengurangi masalah pendidikan di daerah. Kedua, format tersebut bisa jadi merupakan salah satu bentuk eksploitasi mahasiswa untuk kepentingan segelintir orang. Asumsi kedua bisa jadi tidak muncul ketika tujuan dan dana yang didapatkan oleh UNM diberikan transparansinya untuk kepentingan bersama dan mahasiswa merasa adil akan dana operasional yang diberikan. Dan ini merupakan tugas bagi pengeloala KKN untuk memberikan penjelasan.
Belum selesai hal tersebut menjadi perbincangan, belakangan ini muncul format baru di KKN 2007, yang lagi-lagi memunculkan kontroversi dalam pelaksanaannya. KKN 2007 merupakan KKN yang reguler akan tetapi memberikan tugas utama kepada mahasisiwa untuk melakukan pendataan seperti yang dilakukan pada KKN wajar 2006, namun KKN ini bukanlah sebuah proyek sehingga seluruh dana operasioanal ditanggung mahasiswa. Munculnya format ini mengundang pertanyaan” wajarkah KKN kali ini?(tanya’ma’)”. Sekali lagi ada beberapa asumsi pertanyaan yang harus terjawab sebelum kita mengatakan “wajar”. Pertama, benarkah KKN ini bukan proyek seperti KKN wajar atau hasil pendataan tidak akan dijadikan sebagai sebuah proyek untuk kedepan?. Kedua, seperti apa solusi yang ditawarkan oleh UNM dalam menindaklanjuti data yang diperoleh mahasiswa ketika ini tidak terkait dengan pihak di luar UNM atau merupakan data yang benar-benar dibutuhkan UNM dalam menghadapi KKN berikutnya. Kedua pertanyaan tersebut harus dijawab oleh pihak yang terkait, sehingga tidak memunculkan pertanyaan lain atau asumsi-asumsi yang baru.
Akhirnya dapat dikatakan dalam tulisan ini bahwa tujuan dan target pelaksanaan KKN 2007 haruslah jelas, masalah-masalah dan wacana ini muncul karena tidak adanya kejelasan terhadap masalah tersebut. Ketiadaan pemberitahuan sebelumnya, adanya perbedaan antara pemberian dana operasional pada format sebelumnya yang mempunyai kesamaan tugas utama yaitu pendataan turut menajadi latar belakang munculnya masalah tersebut. Yang diperlukan dalam konteks sekarang adalah transparansi seluruh kegiatan pendidikan yang ada sehingga memunculkan kesepahaman antara semua elemen yang terkait. Dan nantinya akan meningkatkan pendidikan di negeri ini pada umumnya dan di perguruan tinggi UNM pada khususnya.


Tidak ada komentar: