Minggu, 10 Februari 2008

Cerita bersambung

dari ake

Bulan ini, aku genapkan ststusku menjadi anak kuliahan dan separuh waktu kedepan akan kulalui dengan predikat baru yang biasa di istilahkan teman – teman sebagai seorang pengangguran. Entah itu sebuah ejekan, yang jelas realitasnya akan seperti itu. Kata pengangguran bukanlah kata yang tabu bagi seorang alumni universitas. Karna ia selalu menghantui seluruh manusia yang telah menginjakkan kakinya di kampus. Paling tidak aku harus berbangga dengan predikat baruku sebab aku tidak lagi bertemu dengan dosen – dosen yang jahat, bertemu dengan birokrasi yang menaikkan SPP tiap tahun, serta berkumpul dengan sebahagian teman – teman yang mengajariku untuk selalu berperang dengan tetangga fakultasku. Begitu pula aku juga harus berbangga karna beberapa cewek – cewek yang selalu menggodaku kini menjadi kenangan tersendiri.
Pagi itu, aku sangat berbahagia walaupun aku bangun jam sembilan, tapi kepalaku terasa ringan, walaupun beralasakan kardus – kardus, berbantal karun serta bersilimut debu – debu tetapi malam terasa terlewati dengan penuh lelap. Ya, seperti itulah tempat tinggalku bersama teman – teman di salahsatu lembaga kemahasiswaan. Beberapa temanku yang tinggal sudah terbiasa dengan kondisi ini, adapun teman – teman yang baru masih beradaptasi dengan ekosisitemnya. “nikmati saja, nanti akan terbiasa sendiri” begitu kataku saat mereka mulai mengeluh atas kekalahannya dengan nyamuk – nyamuk. Kalimat itu merupakan warisan dari seniorku yang terucap pada pertama- pertama aku tinggal. Aku harus meninggalkan mereka, pikirku. Entah kapan yang jelas setelah urusanku disini sudah selesai. Beberapa teman – temanku masih terlelap setelah kemarin begadang menonton film bioskop yang di putar disalah satu tv swasta. “Ada yang belum salat subuh”. Teriak salahsatu temanku yang baru bangun. Ya sudah tadi, jawab yang lain dengan suarah yang tidak jelas. Sudah menjadi tradisi disini orang saling membangunkan salat subuh walaupun dia sendiri tidak melakukannya. Makllum sekedar basa – basi untuk gantikan tidur di kasur yang empuk.
Ditempat ini juga aku temukan berbagai pengalaman menarik mulai dari hal – hal yang aneh – aneh samapai sesuatu yang tidak masuk akal, ya disinilah aku menemukan orang dengan suara tampa basi –basi menanyakan tentang dimana tuhan. Pertanyaan yang selama ini sangat sacral untuk di ungkapkan. Jangankan mau menanyakan kepada orang pintar memikirkan saja kita sudah dicap kafir oleh kelompok tertentu. Bukan saja pertanyaan aneh – aneh. Disini juga aku temukan orang yang berani berfikir kritis terhadap realita, ah sungguh hebat to. Entahlah yang jelas aku mau bilang disini ketemukan banyak orang baik dan banyak juga orang yang berpura – pura baik.
Tidak terasa aku berada kembali di pertengahan hari, dari pagi hanya kuhabiskan waktu di depan computer, main game sambil tulis – tulis cerita. Beberapa teman sudah mulai terbangun yang melanjutkan tidurnya dari tadi pagi. Sungguh terlalu…, kataku sambil mengejeknya. Sambil mereka berlomba – lomba cari peralatan mandi untuk antri bersama teman – teman lembaga kemahasiswaan yang lain. Ya mau diapalagi diantara tiga kamar mandi disini hanya satu yang baik, maaf, baik dalam arti kebiasaan kami menerima kondisi ini. Beberapa teman – teman yang memiliki giliran mandi belakangan sedang sibuk membaca Koran local. Biar di bilang intelektual, walaupun berita yang mereka baca tidak lepas dari halaman belakang yang berisi gossip beberapa selebritis yang kawin cerai. Bersambung……………….

ALAMKU, APA KABARMU?

oleh: ake. spd
Menghargai Alam, menghargai hati…..
Hidup’kan Makin lestari dan harmonis
Bila cinta selalu bersemayam dihati.

Wacana akan kesadaran ummat manusia di seluruh Negara di dunia ini akan bahaya pemanasan global sedang hangat di perbincangkan diberbagai diskusi dan seminar bertaraf internasional. Walaupun dianggap terlambat dan bermuatan kepentingan tetapi perlu diapresiasi lebih lanjut secara praktis. Maraknya berbagai bencana alam yang melanda akhir – akhir ini juga turut menyumbangkan sumber inspirasi untuk kembali merenungkan apa yang telah kita perbuat diatas bumi ini sehigga ia tidak lagi bersahabat dengan kita. Sederet peristiwa dan musibah yang terjadi dinegeri ini mulai dari bencana sunami, gempa bumi, banjir, tanah longsor serta bencana alam turut mewarnai perjalanan bangsa ini.
Bukan hanya peristiwa alam seperti yang terlihat sekarang menjadi tanda akan sebuah kehancuran bumi ini, tetapi perediksi akan bencana yang akan datang turut menghantui para ilmuan dan kita semua tentang sebuah perubahan alam yang kita percepat sendiri menjadi lebih buruk di masa yang akan datang. Mencairnya gunung – gunung es yang mengakibatkan air laut merambah kedaratan, pergantian musim yang tidak teratur membuat para petani kegagalan panen, dan tingginya suhu udara yang tidak seperti biasanya menjadikan penduduk bumi semakin tidak nyaman. Kesemuanya itu adalah tanda – tanda tersendiri akan adanya musibah besar yang akan melanda ummat manusia di masa – masa yang akan datang. Jika prediksi Ilmu pengetahuan sudah mengingatkan kita akan adanya bahaya yang lebih besar, maka sekarang saatnya untuk kembali merenung seburuk apakah tindakan yang telah di lakukan di atas bumi ini.
Keprihatinan akan kondisi alam datang dari berbagai pihak termasuk dari pihak yang selama ini banyak mengeksploitasi lingkungan seiring dengan munculnya kesadaran bersama terhadap masa depan keberlangsungan manusia di muka bumi ini. Pertanyaan tentang apakah generasi berikutnya dapat hidup di planet yang bernama bumi ini dapat bertahan sampai akhir zaman menjadi renungan bagi kita semua yang hidup sekarang ini. Dimana tanda – tanda kehancuran sudah terlihat jelas dalam berbagai peristiwa – peristiwa alam yang tidak dapat dideteksi oleh akal manusia. Ketidakmampuan dalam mendeteksi kejadian alam membuat ummuat manusia ini melegitimasi dirinya untuk melimpahkan kesalahan pada alam itu sendiri bahkan pada sang pengatur alam ini.
Sudah menjadi kebiasaan kita untuk selalu melimpahkan kesalahan pada sesuatu yang tidak bisa menjawab. Padahal kita semua tahu bahwa “saya’, dia’, dan mereka” yang telah mengambil sumber daya alam secara serakah, menggundulkan hutan, membuat polusi udara, air, dan tanah serta yang paling penting bangga dan sombong dengan dosa – dosa yang telah dilakukan terhadap alam ini. Mungkin beberapa hal tadi telah menjadi kebiasaan dan rutinitas kita sehari – hari. Dengan keserakahan yang kita lakukan, akankah kita akan menyalahkannya setiap terjadi bencana alam. Padahal dalam salah satu dokrin agama menyebutkan bahwa “ Telah terjadi kerusakan di daratan dan di laut akibat ulah manusia itu sendiri”. Percaya atau tidak dengan kalimat ini, yang jelas pengetahuan ilmiah telah membuktikannya dengan sejumlah penelitian – penelitian yang dapat di percaya kebenarannya.

Alamku, Apa kabarmu
Kondisi Alam sekarang ini, sadar atau tidak, banyak di pengaruhi oleh idiologi dan pola tingkah laku masyarakat. Perubahan pola dari hidup yang dianggap tradisional menjadi lebih modern yang di dukung oleh kemenangan ideologi kapitalisme dan melahirkan revolusi industri turut menyumbangkan peralihan tingkah laku masyarakat dalam memandang alam yang dulunya sebagai mitra yang harus dijaga dan dilestarikan menjadi objek yang perlu di ekspolotasi dan di hancurkan demi mendapatkan keuntungan yang sebesar – besarnya. Masyarakat telah melihat alam sebagai sebuah potensi yang bukan hanya untuk digunakan memenuhi kebutuhan manusia tetapi untuk memenuhi keinginan – keinginan manusia.
Pola hidup yang konsumeris dan hedonis yang lahir dari buah kapitalisme membuat masyarakat buta akan kelestarian lingkungan. Kita malah bangga membuang limbah sembarangan, mengeluarkan polusi kendaraan kita di udara, dan membuang racun di laut. Bukan hanya kita secara individu tetapi secara massal bersama – sama membangun pabrik – pabrik untuk meratakan gunung, membabat hutan dan menegruk hasil laut secara berlebihan, semua itu kita lakukan tidak lain hanya untuk bersenang – senang di muka bumi ini. Pemerintah yang kita bentuk untuk menjaga kelestarian alam, justru menjadi jembatan bagi pengusaha – pengusaha untuk masuk di negara ini mengeruk sumber daya alam secara serakah.
Sepertinya dalam kondisi seperti ini, seharusnya sudah ada pemilihan orang – orang yang akan hibernasi dan dikirim ke planet lain untuk melanjutkan peradaban nantinya. Agar tidak terjadi seperti dalam film ideo crazy, dimana orang semua orang menjadi tolol dan bodoh dalam mengelola lingkungannya. Pilihan itu sebenarnya merupakan kemungkinan terburuk dalam melihat tingkah laku manusia yang tidak pernah sadar dengan apa yang telah dilakukan. Jika kita masih menginginkan generasi manusia tidak seperti generasi dinosaurus dan tidak mau memilih kemungkinan terburuk tersebut, maka saatnya kita sadar diri, yang bukan hanya kesadaran individu akan tetapi kesadaran yang muncul secara bersama untuk meninggalkan cara pandang kita yang serakah terhadap alam ini.
Niat baik tersebut telah ditunjukkan dalam berbagai konvensi – konvensi internasional seperti kesadaran kaum kapitalis mengakui kejahatannya dalam Mansholt Memorandum dan medows report yang dibuat untuk club of roma atas segala kunsekwensi dari apa yang telah dilakukan sampai sampai pada kesepakatan MdGs (mellinium development goals) yang memasukkan kesadaran lingkungan bagi setiap Negara mengidentikkan adanya keinginan untuk sadar, akan tetapi kenyataannya belum dapat mengedentikkan keseriusan. Berbagai pengrusakan lingkungan terjadi diberbagai belahan dunia ini khususnya di Indonesia. Bukan hanya masyarakat biasa yang melakukan akan tetapi pelaku utamanya adalah pengusaha – pengusaha yang telah berselingkuh bisnis dengan pemerintah setempat. Sejumlah aturan tentang pelestarian lingkungan seakan – akan hanya menjadi perhatian untuk diperdebatkan dalam pembuatan di meja dewan tapi tiba pada tahap pelaksanaan, semuanya diabaikan begitu saja.
Konvensi – konvensi yang dilakukan oleh berbagai negara kapitalisme bisa jadi merupakan kesadaran terhadap kejahatan – kejahatannya selama ini, Akan tetapi dapat juga berupa strategi baru untuk melakukan eksploitasi secara besar – besaran dengan cara yang baru dan lebih halus. Yang jelas kita masih tetap harus mengingat apa yang dikatakan oleh Andre gorz dalam bukunya anarki kapitalis bahwa “jangan pernah percaya pada kebaikan kapitalisme, sebab mereka akan merencanakan sesuatu yang lebih jahat”.
Oleh sebab itu, kiranya berbagai fenomena alam dan bencana alam yang melanda ummat manusia dewasa ini seharusnya ditanggapi, pertama sebagai kutukan dari alam atas akibat tingkah laku manusia yang serakah dalam memanfaatkan lingkungannnya. Kedua perlu adanya gerakan sosial masyarakat dalam mempertahankan kelestarian lingkungannya dari pengrusakan antek – antek kapitalisme dengan tidak melupakan manusia sebagai tujuan utama akan keberlangsungan alam. Ketiga perubahan secara radikal pola hidup masyarakat yang cendrum eksploitatif dan konsumeris. Jangan sampai kita semua menyatakan sadar dan pencinta lingkungan padahal tindakan kita adalah sebaliknya
Harapan kita semua adalah tidak mendahului tuhan untuk menyiapkan neraka dimuka bumi sebelum hari kiamat. Dimana kita susah untuk mendapatkan makanan segar karna terkena formalin, susah untuk memakai pakaian karna kepanasan, susah untuk minum karna kekeringan, susah untuk bernafas karna polusi udara, yang intinya susah untuk hidup lagi dibumi ini. Kasian ………

PENDIDIKAN ADALAH WAHANA PERJUANGAN

ake spd
Salah satu aksi nyata yang dilakukan pelaku pendidikan khususnya guru dan sisiwa di kota jambi(24-1-2008 dalam menuntut perbaikan pendidikan di kota tersebut dengan demonstrasi perlu mendapatkan apresiasi. Setelah sekelompok guru yang mengatasnamakan Airmata Guru yang membongkar kecurangan pelaksanaan Ujian Nasional tahun lalu, reaksi yang menunjukkan perlunya pembenahan di bidang pendidikan kembali ditunjukkan secara terbuka di kota jambi. Hal ini merupakan sebuah kemajuan berarti dalam hal advokasi kepentingan rakyat dibidang pendidikan.Walaupun advokasi serupa sering di lakukan guru tetapi dengan tujuan yang sifatnya pribadi seperti kenaikan gaji. Tetapi apa yang dilakukan di jambi menurut saya sungguh merupakan dorongan moral moral action. Dimana di ketahui bersama bahwa pendidikan yang merupakan hak warga Negara selama ini tidak terlalu di perhatikan oleh pengambil kebijakan dinegeri ini. Ini dapat dilihat dari pengalokasian anggaran di bidang tersebut jauh dari amanat UUD.
Sebagaimana di berbagai media di beritakan bahwa aksi mogok belajar mengajar yang sering dilakukan oleh guru dan siswa dalam memperjuangkan hak – haknya maupun hak warga Negara yang lain dianggap menggangu proses belajar mengajar, akan tetapi perlu diketahui bersama bahwa aksi yang dilakukan guru tersebut merupakan proses belajar khususnya mengajarkan kepada siswa untuk berani berkata benar dan mengajarkan kepada generasi pelanjut bangsa untuk memperlihatkan kejahatan institusional yang tidak hanya bisa di perbaiki dengan cara diam. Tetapi perlu aksi nyata dari pelaku pendidikan untuk memperbaikinya. Sebab guru terdiam dalam melihat ketidakbenaran yang terjadi di institusi pendidikan, itu sama halnya mengajarkan siswa akan kebohongan, dan hal tersebut sangat bertentangan dengan tujuan prosesbelajar yang sesungguhnya. Oleh sebab itu tidaklah sepenuhnya benar kekhwatiran berbagai kalangan termasuk orangtua akan terhambatnya prosesbelajar mengajar. Sebuah kewajaran jika orangtua siswa yang mengkhwatirkan akan hal tersebut karna di pikiran mereka prosesbelajar hanya terjadi didalam kelas. Akan tetapi jika para praktisi pendidikan yang dianggap banyak tau akan pendidikan berpendapat seperti orangtua siswa adalah sesuatu yang tidak wajar dan perlu di pertanyakan kepakarannya.
Terlepas dari kontroversi efek dari tindakan yang dilakukan selama ini oleh guru, tetapi sesuatu yang perlu diketahui bersama bahwa tindakan tersebut didasari oleh alasan yang sangat rasional. Dimana masih terdapat beberapa guru yang memiliki hati nurani untuk melihat perbaikan dibidang pendidikan yang selama terpuruk baik dari segi kualitas autput mapun dari segi menejerial yang buruk. Sebuah institusi yang sangat diharapakan melahirkan generasi pelanjut bangsa tetapi juga sekaligus melahirkan calon – calon penjahat baik itu preman maupun koruptor. Sebuah institusi yang diharapkan menjadi miniature masyarakat akan kehidupan social yang baik tetapi sekaligus memperlihatkan contoh kehidupan social yang jahat.
Jika kita sekarang memiliki paradigma yang pesimis. Semua orang sepakat bahwa pendidikan adalah satu - satunya wahana untuk memperbaiki kondisi bangsa hari ini. Kita tidak lagi sekarang percaya pada lembaga lain seperti eksekutif, legeslatif dan yudikatif. Karna disanalah sebahagian besar orang – orangnya yang telah menghancurkan negeri ini. Pendidikan merupakan satu – satunya harapan untuk memperbaiki negeri ini. Mungkin hal ini merupakan salahsatu asumsi dari guru – guru yang melaksanakan aksi di Jambi.
Mengharap Alokasi anggaran dari belanja Negara atau daerah untuk pendidikan sesuai dengan amanah UUD, dewasa ini memang seakan – akan merupakan suatu hal yang dilematis jika di perhadapkan dengan kondisi APBN atau APBD yang cukup minim ditambah dengan lilitan utang luar negeri untuk APBN, Akan tetapi bukan suatu hal yang mustahil untuk direalisasikan alokasi anggaran tersebut. Walaupun masih sedikit daerah yang dapat diambil contoh yang telah mengalokasikan anggaran belanja daerahnya sesuai UUD tetapi hal tersebut dapat di jadikan indicator bahwa apa yang menjadi keinginan guru dan siswa di jambi adalah suatu hal yang realistis. Dengan catatan terlepas dari naiknya pajak daerah tersebut yang kenaikannya sungguh juga tidak realistis. Tetapi itu lebih dirasakan oleh masyarakat ketimbang semuanya di korupsi.
Walaupun dana pendidikan bukanlah satu – satunya komponen akan keberhasilan pendidikan akan tetapi dalam konteks sekarang ini dana anggaran sangat di butuhkan pada bidang tersebut mengingat banyaknya sarana dan prasarana pendidikan yang rusak serta fasilitas belajarmengajar yang perlu diperbaharui seiring dengan perkembangan zaman. Hal ini merupakan salah satu kerangka piker dimasukkannya nominal anggaran yang harus dipenuhi pemerintah dalam UUD. Oleh sebab itu pemerintah selaku pengelola negeri ini untuk berbaik hati dengan tidak mengkorupsi semua anggaran yang di dapatkan dari upeti rakyat. Terkadang masyarakat merasa pesimistis, jika melirik kelakuan para penguasa negeri ini yang banyak menganggarkan jalan – jalan, rekreasi dan tunjangan untuk kepentingan mereka sendiri ketimbang mengalokasikan anggaran untuk kepentingan rakyat khususnya di bidang pendidikan.
Oleh sebab itu diperlukan kesadaran bersama dari masyarakat secara umum dan guru secara khusus sebagai pelaku pendidikan untuk berteriak dengan lantang agar pemerintah yang selama ini tidak mau mendengar dapat terbangun untuk sedikit berpura – pura baik dalam mengolokasikan anggaran untuk perbaikan pendidikan di Indonesia. Guru bukanlah sosok yang mengajarkan nilai – nilai kemanusian, kebenaran dan keadilan yang sekaligus terdiam melihat nilai – nilai tersebut dipertontongkan di depan mata mereka. Tetapi guru adalah kaum yang dipercayakan untuk mengajarkan sebuah nilai, yang bukan hanya ada dalam teori tetapi nilai itu harus mewujud dalam kehidupan nyata, bagaimanapun cara dan metodenya. Kita sudah lelah mengharap perbaikan pendidikan yang selama ini diamban kehancuran. Berbagai masalah yang muncul dalam bidang pendidikan merupakan sebuah mata rantai yang sampai sekarang belum bias di dapatkan ujung pangkalnya. Mungkin karna terlalu banyak pakar dan praktisi pendidikan yang melihat bidang ini sebagai salah satu lahan komoditi yang laku di perjaulbelikan. Kesadaran akan pendidikan yang berkualitas harus dikalahkan oleh pemikiran yang pragmatis. Sehingga yang terjadi kemudian beberapa guru terjebak pada paraktek mafia pendidikan
Dalam konteks sekarang ini sudah menjadi kerinduan kita bersama akan lahirnya guru yang tegas berteriak di depan atasannya untuk berkata tidak pada setiap bentuk pelanggaran terhadap nilai dari apa yang sedang diajarkan pada siswanya. Kita mengharapkan kehadiran guru-guru yang paling tidak dicontohkan oleh mereka yang ada di jambi. Yang tidak hanya berteriak ketika gajinya di potong oleh atasannya akan tetapi juga berteriak ketika masyarakat di sekitarnya di khianati oleh penguasa di negeri ini.
Semoga apa yang dilakukan teman – teman di jambi dapat menjadi contoh bagi kaum pelaku pendidikan di daerah lain untuk bergerak menuntut kembali hak – hak rakyat khususnya di bidang pendidikan yang selama ini dirampas oleh oknum – oknum yang tidak bertanggungjawab. Kita tungguuuuuuuuuuu……

MEMPERTANYAKAN KEMBALI MAKNA NASIONALISME

Oleh : Vladimir ake*

Akhir-akhir ini kita kembali mendengarkan dan melihat di berbagai media tentang adanya tindakan yang dianggap separatis oleh beberapa oknum di dua daerah kawasan timur Indonesia yaitu maluku dan papua. Aksi ini dilakukan secara terang-terangan di depan public. Di Maluku misalnya dilakukan pengibaran bendera RMS (republik maluku selatan) pada sebuah acara yang dihadiri kepala Negara di negeri ini. Berselang beberapa hari, aksi serupa di pertontonkan pengibaran bendera bintang kejora OPM (organisasi papua merdeka) di sela-sela acara pertemuan dewan adat papua. Pengibaran bendera tersebut merupakan tindakan yang sangat berani yang dilakukan oleh penari- penari adat di daerah tersebut.
Tindakan tersebut menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk dari penduduk daerah tersebut. Aksi tersebut dinilai sebagai tindakan yang mengancam kedaulatan Negara kesatuan republic Indonesia (NKRI), sehingga pelakunya harus diproses secara tegas lewat jalur hokum. Baik itu terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Pengusutan kasus ini sudah mulai berjalan, beberapa orang yang dianggap terlibat sudah mulai diperiksa oleh petugas yang berwenang. Namun kecaman dari berbagai pihak tetap marak di lakukan di berbagai daerah yang katanya memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. Di ibukota berbagai masyarakat yang berasal dari daerah maluku mengecam tindakan tersebut, begitupula aksi mahasiswa di makassar yang tindakan serupa dengan membakar bendera RMS.
Akan tetapi ditengah kecaman dari berbagai elemen masyarakat, dukungan juga tidak sertamerta menghilang. Beberapa mahasiswa asal papau di daerah istemewa yogyakarta melakukan aksi demonstrasi menuntut refrendum atas tanah papua yang selama beberapa tahun dibawah penjajahan bangsa Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa kata kemerdekaan bagi mereka tidak lagi menjadi kata yang harus disembunyikan dalam hati sanubari sebahagian rakyat di daerah tersebut, begitu pula symbol-simbol seperti bendera sudah mereka tunjukkan kepada public, bahkan di depan mata seorang kepala Negara seakan-akan ingin memperlihatkan bahwa mereka sudah lelah terjajah. Tindakan yang hampir sama dilakukan oleh pejuang NKRI pada penjajah colonial belanda dimasa yang lampau.

Makna nasionalisme
Aksi yang dilakukan OPM di papua dan RMS di maluku merupakan indicator bagi sebahagian orang untuk menilai hilangnya semangat nasionalisme, hilangnya kecintaan terhadap NKRI serta hilangnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Memunculkan identitas kelompok kedaerahan yang diiringi dengan keinginan untuk merdeka merupakan langkah-langkah yang dianggap dapat mengancam ketahanan nasional dan dianggap maker, sehingga harus dicegah dengan pola pendekatan meliteristik.Maka sebuah kewajaran ketika setelah aksi tersebut, para petinggi militer dinegeri kebakaran jenggot akibat tidak mau ketinggalan dalam mempertahankan keutuhan Negara, walaupun sudah beberapa kali kecolangan termasuk pada aksi sebagaimana diatas.
Mempertanyakan kembali makna nasionalisme dalam konteks dewasa ini seakan sudah menjadi kewajiban kita bersama sebagai orang yang mengaku berbangsa, berbahasa dan bertanah air satu, tanah air indoneisia. Benarkah penduduk Indonesia telah mengalami degradasi dalam diri masing – masing tentang sebuah faham nasionalisme, sehingga tindakannya seakan –akan sudah tidak mengakui lagi sumpah pemuda. Ataukah nasionalisme itu sendiri adalah sejenis paham kolonialisme dizaman tempo dulu yang berubah wujud. Entah apa namanya, yang jelas tindakan yang dilakukan di aceh pasca perjanjian Helsinki dan kasus terbaru sebagaimana diatas telah mengusik diri kita sebagai sebuah bangsa yang katanya berbhineka tunggal ika Walaupun tindakan yang dilakukan diatas merupakan suatu hal yang sifatnya kasuistik tetapi perlu mendapat apresiasi dalam wacana lebih lanjut, mengingat hal tersebut sangat sensitive dalam interaksi sosial masyarakat.
Nasionalisme secara sederhana dapat dimaknai sebagai kesadaran sosial masyarakat untuk bersama hidup dalam sebuah teritorial tertentu dalam mencapai kesejahteraan, ketentraman dan kedamaian. Defenisi inilah menjadi awal terjadinya kontrak sosial dalam membangun negeri ini, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 45 alinea terakhir dan dalam pasal – pasalnya yang lain. Kesamaan secara historical, tujuan dan cita – cita akan kehidupan yang lebih baik mendorong penduduk di berbagai daerah di negeri ini membentuk Negara kesatuan bangsa Indonesia. Sehingga impian para pahlawan negeri ini, bahkan impian kita bersama bahwa kita semua akan sejahtera baik secara fisik maupun nonfisik jika bersama membentuk satu Negara kesatuan yaitu Indonesia.
Menjadi problem ketika indikasi akan sebuah tujuan dan cita – cita semakin menjauh dari kenyataan kehidupan masyarakat. Jumlah kemiskinan yang mencapai setengah penduduk, pengangguran yang semakin membengkak, perampasan hak milik dari kuat kepada yang lemah, saling membodohi antara penduduk yang cerdas dan yang kurang cerdas, serta fenomena – fenomena sosial lain yang aneh – aneh. Dalam kondisi seperti itu benarkah sikap nasionalisme tetap di pertahankan. Secara subtansial kehidupan masyaraka kiranya kita perlu mempertanyakan adakah perbedaan mendasar tentang makna keadilan sosial yang terjadi dizaman colonial dengan zaman yang dialami bangsa Indonesia sekarang ini. Seiring dengan pertanyaan tersebut, masihkah nasionalisme menjadi titik acuan untuk menilai tindakan dan aksi yang dilakukan penduduk yang menginginkan sebuah kemerdekaan di sebuah daerah. Tentu dengan membandingkan antara harapan dan jauhnya kenyataan akan harapan tersebut, dapat dikatakan bahwa nasionalisme tidak akan pernah hadir dalam diri masyarakat pada situasi sosial yang tidak adil sekarang ini. Sehingga menjadi kesalahan besar bagi kita semua untuk menjadikan ukuran dan indicator semangat nasionalisme dalam menyalahkan mereka yang menginginkan keluar dari NKRI.

Keluar dari lingkaran setan
Akan tetapi apa yang dilakukan oleh OPM dan RMS tidak juga sepenuhnya dapat dibenarkan jika dilihat dari strategi perjuangan. Kita mengetahui bahwa kepentingan sesaat masih banyak bermain, pengaruh laur masih butuh kajian lebih lanjut dan yang lebih penting adalah bahaya kekuatan penjajah yang lebih besar dalam skala global. Semuanya itu, semestinya menjadi pertimbangan yang lebih matang sebelum menyatakan diri untuk hidup sendiri. Karna diketahui bersama kemandirian suatu bangsa harus didukung oleh perencanaan dan pertimbangan baik itu dalam segala bidang sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Bolehjadi pepatah yang mengatakan keluar dari mulut buaya masuk kedalam mulut harimau dapat di asumsikan pada keadaan kelompok – kelompok yang menginginkan kemerdekaan, sehingga yang terjadi kemudian adalah lingkaran setan yang diketahui kapan akan berakhir. Kondisi global yang sangat kacau ditambah kondisi nasional yang tidak kalah kacaunya membuat penduduk yang tinggal di dalam negeri ini mengalami kondisi yang dilematis. Bolehjadi sekarang, kita merasa di jajah oleh bangsa sendiri dengan berbagai kebijakannya, akan tetapi semua itu tidak lepas dari kondisi global yang tidak siap di hadapi dengan keberanian untuk tidak tunduk pada kepentingan Negara tertentu. Begitupun refrendom harus menjadi kata yang benar – benar ada karna keberanian untuk mengatakan tidak pada segala bentuk penjajahan.
Paling tidak sebelum penduduk Indonesia secara umum memiliki keinginan yang sama seperti OPM dan RMS seharusnya mempertimbangkan berbagai kondisi yang ada. Oleh sebab itu ada beberapa hal yang menjadi catatan penulis atas tanggapan terhadap fenomena diatas. Pertama kita semua akan sepakat bahwa nasionalisme itu penting ada dalam sebuah bangsa demi menjaga kebersamaan dalam mencapai tujuan hidup yang lebih sejahtera. Oleh sebab itu pemerintah perlu menyelesaikan kasus tersebut dengan cara menumbuhkan kesadaran sosial masyarakat atau nasionalisme dalam diri masing – masing individu yang disertai dengan jaminan kesejahteraan bersama, bukan kesejahteraaan sebahagian orang atau kelompok. Sehingga tercipta keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Adapun penyelesaian secara militer hanya membalut luka secara sesaat tambah menyentuh subtansi masalah sebenarnya. Kedua sebagai penduduk bangsa yang sakit ini seharusnya metode memisahkan diri dari kesatuan bangsa perlu dipertimbangkan dengan matang, jangan sampai kita terjebak pada sebuah lingkaran setan yang tidak diketahui kapan akan berakhir. Sehingga yang perlu dilakukan sekarang ini adalah bagaimana membangun kekuatan bersama dengan semangat nasionalisme untuk mengusir mereka yang berkuasa di negeri ini yang tidak lain adalah bangsa kita sendiri dengan menggantikannya yang baru, dengan itulah tercipta sebuah revolusi sejati. Mudah – mudahan catatan diatas dapat memberikan persepsi berbeda sehingga kita tidak saling mencela termasuk dengan aktifitas yang dilakukan oleh OPM dan RMS, karna apa yang mereka lakukan hanyalah ekspresi diri atas kekecewaan terhadap pengelola negeri ini yang tidak pernah berpihak kepada mereka dalam memenuhi haknya sebagai warga negara.

Penulis adalah anggota INTRAS Makassar.





M E N Y O A L F O R M A T K K N U N M

Oleh: ake
Pendidikan merupakan suatu hal yang tidak pernah selesai untuk selalu diperbincangkan, mungkin salah satunya karena dalam bidang ini terdapat berbagai persoalan yang tak kunjung selesai. Jangankan menemukan solusi, merumuskannya saja sangat sulit untuk dilakukan. Parahnya masalah pendidikan kita telah menjadi bahan celaan bagi masyarakat yang selama ini menaruh harapan yang sangat mulia dalam bidang pendidikan untuk kemajuan dan kesejahteraan mereka.
Dalam konteks perguruan tinggi, besar harapan akan adanya jargon tridarma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat menjadi solusi praktis terhadap persoalan–persoalan yang dihadapi masyarakat sekarang ini. Namun kita tidak perlu banyak berharap akan keinginan tersebut. Karena kualitas perguruan tinggi hari ini masih dipertanyakan. Munculnya kasus kekerasan dalam perguruan tinggi, praktek korupsi, kolusi, nepotisme, dan politisasi kampus bahkan sampai (mohon maaf) pelecehan seksual. Kasus-kasus inilah yang telah mewarnai buruknya kehidupan kampus yang dikenal dengan ilmiahnya.
Mengukur tingkat kualitas pendidikan tidak perlu jauh–jauh melihat hasil penelitian-penelitian para ilmuan itu. Kita cukup menghitung berapa orang ilmuan itu dinegeri ini yang mendapatkan hadiah nobel (bukan berapa, tapi adakah?), yang merupakan pengakuan internasional terhadap kualitas ilmuan. Keadaan tersebut salah satunya diakibatkan karena ilmuan dinegeri ini adalah ilmuan imitasi, gelar-gelar yang diperoleh dari ciplakan-ciplakan atau karya-karya orang lain. Lihat saja sarjana kita yang selesai dengan membuat skripsi, tesis atau disertasi yang merupakan ciplakan dari karya orang lain, ditandai dengan judul yang dipilih merupakan judul contekan yang setiap tahun tidak pernah berubah. Bahkan kita tidak dapat menyembunyikan bahwa perguruan tinggi di negeri ini memiliki kualitas paling buncit jika dibandingkan dengan perguruan tinggi dikawasan ASEAN. Malasyia yang baru membenahi perguruan tingginya pada tahun 1970-an, justru melampaui kualitas perguruan tingginya di negeri ini yang dulu menyuplai tenaga pengajar dari negara ini.
Salah satu yang memperburuk rendahnya kualitas pendidikan di perguruan tinggi ini sebagaimana dalam tulisan sebelumnya, karena masih adanya praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Perilaku ini tidak pernah hilang dalam setiap aktifitas di bidang pendidikan, terkhusus lagi di perguran tinggi. Mulai dari penerimaan mahasiswa baru, pelaksanaan proses belajar mengajar, sampai pada gelar sarjana yang diperoleh. Pada penerimaan mahasiswa baru misalnya persoalan transparansi kelulusan ujian baik itu jalur resmi maupun jalur khusus terkadang masih digelapkan. Pelaksanaan proses belajar mengajar yang cenderung mengeksploitasi mahasiswa, baik itu secara terus terang maupun secara terus-terusan, dan kesarjanaan yang diperdagangkan secara murahan.
Mengingat banyaknya persoalan yang dihadapi pendidikan kita hari ini khususnya di perguruan tinggi yang tidak mungkin diungkap semua dalam tulisan ini, maka kita dapat menelaah salah satu kasus yang bukan hanya diresahkan kalangan kampus tetapi juga masyarakat umum adalah pelaksanaan KKN (kuliah kerja nyata) yang merupakan salah satu kambing hitam bagi birokrasi kampus dalam memenuhi tridarma perguruan tinggi secara intrakulikuler khususnya pengabdian kepada masyarakat. Sangat jarang penelitian yang mengungkapkan urgensi pelaksanaan KKN sekarang bagi perkembangan masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di lokasi cenderung tidak mempengaruhi perkembangan masyarakat. Bahkan sebagian masyarakat menganggap keberadaan mahasiswa KKN hanya menambah beban di lokasi tersebut. Hal ini memang sering terjadi karena komunikasi yang dibangun sebelum menerjungkan mahasiswa ke tempat tersebut hanya dilakukan kepada pihak birokrasi yang memiliki jabatan penting. Sedangkan mereka yang ada di bawah hanya bisa kaget dan menerima secara terpaksa. Berbagai kasus misalnya ketidaktahuan para masyarakat akan datangnya mahasisiwa KKN, jangankan masyarakat, kepala desa saja nanti diberitahukan satu hari sebelum kedatangan mahasiswa.
Program-program yang ditawarkan mahasiswa KKN juga cenderung mengingatkan kita pada program ABRI masuk desa di era orde baru. Melakukan perbaikan selokan, cat pagar, pembuatan batas desa, sablon papan nama kepala desa, mungkin yang agak sedikit bagus adalah melakukan PPL 2 di lokasi. Hal-hal yang diharapkan dapat memacu dan memotifasi pembangunan daerah serta peningkatan kapasitas msyarakat dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi justru tidak terlihat. Maka suatu kewajaran ketika masyarakat tidak menaruh harapan besar kepada mahasisiwa KKN dalam membantu menyelesaikan permasalahan mereka. Seperti pemerataan pembangunan yang tidak adil, kemiskinan yang tidak diperhatikan oleh pemerintah, kesehatan dan pendidikan yang tidak terjangkau dan sebaginya.
Fenomena di UNM seperti hal tersebut, sudah menjadi keluhan bagi setiap mahasiswa yang selalu mempertanyakan urgensi adanya KKN. Akan tetapi belakangan ini UNM melakukan terobosan baru dengan merubah format KKNnya pada tahun 2006. Mahasiswa KKN dibagi menjadi dua kelompok yaitu Kelompok KKN wajar dan kelompok KKN reguler. KKN wajar diberikan tugas utama yaitu melakukan pendataan terhadap wajib belajar, buta aksara, dan hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut sedangkan KKN reguler berjalan seperti biasanya. Keberadaan format KKN wajar merupakan implikasi dari kerjasama pihak UNM dengan dinas pendidikan nasional yang biasa disebut-sebut sebagai proyek. Karena ini adalah proyek, maka semua mahasiswa yang terlibat dalam KKN wajar tersebut menerima dana operasional. Mencermati hal tersebut ada dua masalah yang dapat muncul dan dipandang secara berbeda. Pertama, format tersebut merupakan hal yang sangat membantu dinas pendidikan dalam mengurangi masalah pendidikan di daerah. Kedua, format tersebut bisa jadi merupakan salah satu bentuk eksploitasi mahasiswa untuk kepentingan segelintir orang. Asumsi kedua bisa jadi tidak muncul ketika tujuan dan dana yang didapatkan oleh UNM diberikan transparansinya untuk kepentingan bersama dan mahasiswa merasa adil akan dana operasional yang diberikan. Dan ini merupakan tugas bagi pengeloala KKN untuk memberikan penjelasan.
Belum selesai hal tersebut menjadi perbincangan, belakangan ini muncul format baru di KKN 2007, yang lagi-lagi memunculkan kontroversi dalam pelaksanaannya. KKN 2007 merupakan KKN yang reguler akan tetapi memberikan tugas utama kepada mahasisiwa untuk melakukan pendataan seperti yang dilakukan pada KKN wajar 2006, namun KKN ini bukanlah sebuah proyek sehingga seluruh dana operasioanal ditanggung mahasiswa. Munculnya format ini mengundang pertanyaan” wajarkah KKN kali ini?(tanya’ma’)”. Sekali lagi ada beberapa asumsi pertanyaan yang harus terjawab sebelum kita mengatakan “wajar”. Pertama, benarkah KKN ini bukan proyek seperti KKN wajar atau hasil pendataan tidak akan dijadikan sebagai sebuah proyek untuk kedepan?. Kedua, seperti apa solusi yang ditawarkan oleh UNM dalam menindaklanjuti data yang diperoleh mahasiswa ketika ini tidak terkait dengan pihak di luar UNM atau merupakan data yang benar-benar dibutuhkan UNM dalam menghadapi KKN berikutnya. Kedua pertanyaan tersebut harus dijawab oleh pihak yang terkait, sehingga tidak memunculkan pertanyaan lain atau asumsi-asumsi yang baru.
Akhirnya dapat dikatakan dalam tulisan ini bahwa tujuan dan target pelaksanaan KKN 2007 haruslah jelas, masalah-masalah dan wacana ini muncul karena tidak adanya kejelasan terhadap masalah tersebut. Ketiadaan pemberitahuan sebelumnya, adanya perbedaan antara pemberian dana operasional pada format sebelumnya yang mempunyai kesamaan tugas utama yaitu pendataan turut menajadi latar belakang munculnya masalah tersebut. Yang diperlukan dalam konteks sekarang adalah transparansi seluruh kegiatan pendidikan yang ada sehingga memunculkan kesepahaman antara semua elemen yang terkait. Dan nantinya akan meningkatkan pendidikan di negeri ini pada umumnya dan di perguruan tinggi UNM pada khususnya.


BENARKAH INDONESIA TELAH MERDEKA ?

Oleh. Vladimir Ake

Indonesia telah lama merdeka dari penjajahan bangsa asing tepatnya pada tanggal 18 agustus tahun 1945 yang ditandai dengan pembacaan teks proklomasi oleh sukarno dan dirayakan oleh bangsa Indonesia tiap tahun pada tanggal yang sama. Akan tetapi akankah rakyat pada zaman sekarang ini secara umum merasakan kemerdekaan seperti harapan para pahlawan kita. Seandainya mereka masih hidup Mungkin Ki Hajar dewantara akan menangis melihat Mahalnya pendidikan kita sehingga orang miskin tidak dapat menjangkaunya. Dr wahidin akan bersedih melihat tingginya biaya kesehatan dinegeri ini sehingga rakyat harus diusir dari rumah sakit. Dan KH. Ahmad Dahlan akan merasah gelisah melihat elitisnya sebagian para ulama kita yang telah melacurkan dirinya untuk kepentingan pribadi, serta berbagai pahlawan – pahlawan kita yang akan menyesal mendirikan republic ini.]
Memperhatikan tujuan dari Negara kita yang termuat dalam pembukaan UUD 45 merupakan legitimasi awal untuk menjustifikasi apakah kita terjajah pada hari ini. Sebagaimana inti dari bahasa tersebut adalah terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, aman, dan sejahtera. Sehingga apapun alasannya subtansi dari kemerdekaan tersebut adalah masyarakat sebagaimana dimaksud. Sehingga siapapun yang memimpin Negara ini harus mengarahkan pada tercapainya tujuan tersebut. Namun ketika melihat realitas tersebut jauh dari harapan, Kemiskinan makin melonjak, jika memakai standar internasional mencapai setengah dari penduduk Indonesia. Sehingga mengakibatkan Pengangguran makin takteratasi, munculnya berbagai penyakit seperti gisi buruk, busung lapar dan berbagai penyakit lainnya, serta konflik social yang terjadi diberbagai daerah. Hal ini juga diperparah dengan kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat, naiknya BBM, imporberas, Privatisasi aset – aset Negara, penggusuran diberbagi daerah dengan alasan keindahan kota, dan yang paling parah adalah KKN yang dilakukan oleh birokrat dinegeri ini mulai dari tingkat pusat sampai RT. Realitas tersebut bagaikan benang kusut dan lingkaran setan yang tidak diketahui dimana ujungpangkalnya. Melihat fenomena tersebut akankah kita masih bisa tersenyum dan mengatakan kita merdeka. Buseet………..
Mempertanyakan makna kemerdekaan kita dalam konteks sekarang merupakan suatu keharusan. Benarkah dinegeri ini ada keadilan ketika yang kaya semakin dikayakan dan yang miskin selalu dimiskinkan, baik dalam konteks ekonomi, social maupun pelaksanaan hukum, kita mungkin masih bisa menyaksikan pencuri beras sekilo mati di hakimi massa ketimbang para pencuri uang Negara yang korup melakukan piknik keluar negeri. Benarkah ada kesejahteraan dinegeri ini ketika fenomena busung lapar melanda negeri yang kaya sumber daya alamnya. Dan benarkah ada keamanan yang dirasakan rakyat ketika konflik social sewaktu – waktu dapat terjadi baik itu antara penegak hokum sendiri (polisi melawan TNI), maupun antar masyarakat, Antar mahasiswa akibat SARA PILKADA dan PEMILIHAN REKTOR. Dan terakhir mungkin kita akan benarkan negeri ini kita bubarkan saja dulu untuk sementara.
Menjawab pertanyaan terakhir diatas harus dimulai dengan menjawab pertanyaan lainnya diantaranya masikah ada kemungkinan memperbaiki kondisi yang terburuk yang dialami bangsa Indonesia?. Jawaban dengan optimis merupakan jawaban yang sering sekali kita diperdengarkan oleh para pejabat dalam setiap seminar di hotel – hotel bintang lima yang biasanya membahas tentang kemiskinan, jawaban optimis juga sering diperdengarkan dalam mulut juru kampanye politik (Presiden sampai RT), serta optimesme juga di lantungkan oleh ulama kondang dengan menyarankan kita berdoa dan berzikir ditengah lapangan sambil meneteskan airmata. Akan tetapi optimisme yang merekan tunjukkan hanyalah kamuflase yang keluar dari mulut penghianat dinegeri ini. Namun mencari harapan dari secercah keinginan untuk memperbaiki apa yang salah dinegeri ini. Mencari akar masalah dari seluruh fenomena yang melanda negeri ini baik itu social, politik, budaya dan agama merupakan suatu keharusan.
Banyak diantara kita menganggap bahwa yang menyebabkan negeri terpuruk adalah merebaknya KKN yang dilakukan oleh petinggi dinegeri ini, pernyataan seperti ini tidaklah semuanya salah, akan tetapi kita dapat mengatakan bahwa KKN di negeri ini merupakan salahsatu yang memperburuk kondisi, karna jika kita melihat berbagai Negara seperti India, Cina, Korea memiliki indeks KKN yang sama tingginya dengan indonesia akan tetapi masyarakatnya jauh lebih makmur dan sejahtera ketimbang Indonesia dari tinjauan ekonomi (Awalil Rezki:2005). Begitupula dengan masalah – masalah lain yang merupakan efek dari ketidak stabilan ekonomi dinegeri ini, karna perlu dipahami bersama bahwa dalam konteks sekarang ini kondisi ekonomi dapat mempengaruhi kondisi dan situasi yang lain. Oleh sebab itu peranan ekonomi menjadi incaran dan daya tarik Negara maju untuk melanjutkan kembali penjajahannya.
Penjajahan memang telah berlalu, kita sudah mengatakan merdeka walaupun sebagian besar masyarakat tidak pernah merasakan kemerdekaan karna dililit kemiskinan. Para penjajah memang telah pergi meninggalkan Indonesia tetapi mereka mewariskan kepada generasi bangsa ini sebuah ideology penjajah yang dikenal dengan kapitalisme yang telah dipraktekkan oleh para penguasa untuk kembali menjajah rakyatnya sendiri. Kalau sebelumnya penjajahan dalam bentuk fisik maka sekarang penjajahan dilakukan dalam bentuk ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah dinegeri ini dengan bekerjasama dengan Negara – Negara maju dalam bentuk pemberian utang luar negeri dengan bunga yang tinggi dan diiringi dengan kesepakatan yang hanya menguntungkan pemberi utang. Salahsatunya kesepakatan itu adalah menghilangkan subsidi kepada rakyat. Utang indonesia telah mencapai kurang lebih1400 trilyun rupiah yang jika dihitung setiap penduduk menanggung beban 10 juta. Keberadaan utang tersebut mengaharuskan sebagian besar APBN Negara dialokasikan untuk membayar utang sehingga alokasi untuk kepentingan rakyat seperti pendidikan, kesehatan dan pemberantasakan kemiskinan semakin terabaikan.
Bentuk penjajahan yang dilakukan oleh Negara maju melalui lembaga – lembaga donor dalam jeratan utang luar negeri merupakan strategi baru dalam melakukan penjajahan. Indonesia yang memulai dizaman orde baru untuk menerima utang dan dilanjutkan sampai sekarang telah membuat penderitaan kepada rakyat. Belum lagi dari sekian banyak utang itu hampir mencapai 30 % dikorupsi oleh pejabat. Dapat juga dikatakan bahwa idiologi yang dipakai penguasa kita dalam menyelenggarakan Negara, hanya menguntungkan sebagian kecil mesyarakat indonesi. Melihat fenomena tersebut maka masihkah kita mengatakan bangsa ini telah merdeka.
Jadi dapat kita katakana bahwa salahsatu akar masalah dari terpurukya bangsa ini, karna terintegrasinya Indonesia dalam sebuah tatanan global yang mengharuskan negeri ini menjadi negara yang patuh dan taat pada arus kepentingan global.Atau dengatakan bahwa kita masih terjajah oleh bangsa asing yang telah berkoalisi dengan pemerintah dengan model penjajahan yang baru yang kita sebut dengan neoliberalisme, dengan indikator terintegrasinya indonesia dalam tatanan ekonomi global dan pasar bebas. Efek yang dapat kita amati adalah perjanjian yang dilakukan pemerintah dengan pemberi utang yang mengikat dan tidak transparan yang melahirkan kebijakan pemerintah yang hanya memihak kepada kepentingan pemegang modal (MnSc dan TnSc) yang menjadi otak dari seluruh penjajahan ekonomi yang ada didunia ketiga seperti indonesia. Lahirnya kebijakan kenaikan BBM akibat perjanjian pengurangan subsidi kepada rakyat. Pengelolaan Sunber Daya Alam oleh pihak asing seperti PT Inco, PT Frepoot, serta bebagai sumber minyak di negeri ini dikelola oleh pihak asing yang hasilnya hanya untuk kepentingan mereka dan penguasa dinegeri ini.
Sebenarnya pelaksanaan agenda-agenda penjajahan neoliberal telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi pelaksanaannya secara massif menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada pertengahan 1997. Menyusul kemerosotan nilai rupiah, Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan
UPAYA PERLAWANAN

indonesia telah lama merdeka, akan tetapi kemerdekaan tidak sepenuhnya dirasakan oleh seluruh bangsa indonesia. Kemerdekaan hanya dinikmati oleh para elit – elit politik dan para pengusaha koruptor dinegeri ini. Hal tersebut dapat dilihat dari angka kemiskinan dinegeri ini, kekacauan sosial, pengangguran yang diperparah dengan makinesme dan kinerja pemerintahan yang telah melakukan penjajahan dinegeri ini. Bentuk penjajahan tersebut merupakan hasil kerjasama dengan negara – negara maju dalam bentuk ekonomi dan mempengaruhi bidang – bidang lain. Inilah yang kita sebut penjajahan bentuk baru atau neoliberalisme.
Gerakan perlawanan terhadap neolib harus dilakukan secara trategis, mengingat bentuknya yang tidak nampak secara fisik akan tetapi muncul sebagai sebuah kebijakan – kebijakan ekonomi seperti regulasi, liberalisasi, dan privatisasi yang mempengaruhi berbagai ketimpangan sosial dan senantiasa menyelinap dalam setiap sendi kehidupan kita: ekonomi, politik, budaya, bahkan agama. beragam metode dan model gerakan harus dipadukan. Mulai dari gerakan moral-kultural, penguatan struktural, maupun pembaharuan perundang-undangan.
Tentu saja, sebagai bentuk kepedulian sosial, mahasiswa harus tetap memunculkan solusi untuk masalah yang melanda ummat manusia khususnya negara indonesia ini. Karena, kita masih berkeyakinan bahwa mahasiswa memiliki kemanpuan baik secara konseptual dalam konteks praktis (aksi). Dan secara ideologis mahasiswa (maaf, Cuma sebahagian) masih menyimpan nilai – nilai keidealan sehingga gerakannya masih dapat dipertanggunjawabkan secara moral. Keidealan itulah yang perlu menjadi landasan gerak manusia dalam melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan dari berbagai kebijakan neolib didunia ini sebagaimana funsinya sebagai kontrol sosial, pelanjut perubahan dan pemberi contoh moral yang baik ditengah – tengah masyarakat. Dan hal ini juga dapat dilihat dari tridarma perguruan tinggi dimana mahasisiwa mendapatkan identitsnya sebagai bentuk pengabdian masyarakat.
Begitulah, sesungguhnya memang sudah saatnya mahasiswa tidak lagi diletakkan sebagai kesadaran kognitif yang hanya bergerak pada wilayah Akademis. Akan tetapi harus mampu menjadi kesadaran sosial dalam melakukan inspirasi, aspirasi dan motivasi dalam menanggapi setiap persoalan yang menimpa ummat manusia dan mampu menyelinap dalam perbaikan pada ruang-ruang kultural dan struktural sosial masyarakat. Dan itu artinya, mahasiswa harus mengambalikan identitasnya sebagai pelanjut perubahan.
Gerakan moral cultural
Walaupun dalam konteks sekarang gerakan moral kultural telah dianggap kurang efektif dan efesian mengingat kompleksnya persoalan yang harus diselesaikan secara cepat, akan tetapi gerakan ini tetap diperlukan sebagai upaya penyadaran korban penindasan untuk jangka panjang. Hal yang perlu dilakukan dalam konteks sekarang adalah modifikasi terhadap gerakan tersebut. Jika selama ini gerakan mahasiswa bersifat reaksioner dalam menyikapi persolan, maka perlu pendekatan secara analitis dalam konteks saat ini. Penyadaran sosial yang selama ini dilakukan dalam tingkatan elit mahasiswa, maka dalam konteks sekarang penyadaran akan lebih jauh pada tingkat masyarakat secara umum.
Pergerakan dalam tingkat kultur diharapkan dapat membangun kesadaran secara kolektifitas masyarakat dalam memahami persoalan yang dihadapi akibat kebijakan pemerintah/negara yang memihak pada agen – agen neoliberalisme atau TnCs dan MnCs. Naiknya harga pupuk yang menyensarakan petani akibat kebijakan pengurangan subsidi, pembangunan supermarket dan tempat – tempat pembelanjaan elit seperti mal – mal telah merugikan produksi dan pedagang lokal, pendirian pabrik – pabrik industri yang menggusur penduduk dan sebagainya yang merupakan efek dari neolib, Oleh sebab itu Adalah tugas seorang mahasiswa yang mengaku intelek dalam melakukan provokatif terhadap masyarakat dalam tingkat kultur untuk melakukan perlawanan. Gerakan moral kultural juga diharapkan dapat memperkuat tatanan budaya lokal. berbagai hegomoni budaya yang selalu mengikuti kepentingan pasar bebas yang menjadi agenda neolib paling tidak telah banyak pemporak – porandakan tatanan budaya lokal.

UNM DAN MASA DEPAN PERGURUAN TINGGI

(Menyambut pemilihan rektor UNM)
Oleh : Ake. S.Pd

Pendidikan merupakan suatu rangkaian pembaharuan. Dimana perubahan dari satu waktu kewaktu yang lain menjadi indikatornya. Karna kualitas kehidupan manusia terus meningkat maka pendidikan dituntut untuk melakukan penyesuaian terhadap perubahan tersebut. Oleh sebab itu pembenahan pendidikan dalam meningkatkan kualitas masyarakat meruapakan suatu kemistian yaitu masyarakat yang di idealkan dan ilmiah yang selalu memiliki daya kritis terhadap lingkungannya dan selalu berkreasi dalam menemukan hal – hal baru serta mempunyai keterampilan dapat terwujud.
Salahsatu indikator yang dapat dilihat dari kemajuan suatu bangsa adalah adanya ciri keilmiahan yang terdapat dalam pola dan tingkah laku masyarakatnya. Sehingga menjadikan wahana pendidikan untuk mencapai masyarakat ilmiah dalam konteks sekarang menjadi sangat urgen. Dalam kontek ber indonesia, hal tersebut sudah dijelaskan dalam pembukaan Undang – Undang dasar, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan ini kemudian terjabarkan dalam bentuk praktis dalam suatu sistem pendidikan.
Terbentuknya perguruan tinggi dua hari menjelang proklamasi kemerdekaan yang kemudian pada tanggal 2 februari 1950 berubah menjadi Universitas Indonesia merupakan salah satu bentuk ralisasi dari upaya pencapaian tujuan negara. Perguruan tinggi atau universitas yang mengemban tridarma perguruan tinggi yaitu penelitaian, pendidikan dan pengabdian masyarakat akan selalu diarahkan untuk mencapai masyarakat yang berpradaban. Dalam menyiapkan hal tersebut perguruan tinggi menjadi miniatur dari realitas diluarnya yang selalu selalu berinteraksi dan menjadi wahana dalam pendalaman ilmu pengetahuan serta keterampilan.
Dalam memenuhi hal tersebut, perguruan tinggi di selenggarakan melalaui dua jalur yaitu pendidikan jalur akademik dan pendidikan profesional. Ini berarti bahwa perguruan tinggi bertanggunjawab dalam menyiapkan dua jenis lulusan. Pertama pendidikan akademik yang mendasari lulusannya dengan pendalaman dan pengembangan ilmu pengetahuan atau lebih menekankan pada landasan teori ilmu pengetahuan di selenggarakan oleh Universitas, institut dan sekolah tinggi dengan melalui program S1,S2 dan S3. kedua pendidikan profesional adalah pendidikan yang mendasari lulusannya dengan kemampuan dan keterampilan kerja atau lebih menekankan pada aplikasi (penerapan) ilmu pengetahuan dan keterampilan kerja. Diselenggarakan oleh Universitas, sekolah tinggi, politeknik, dan akademi dengan melalui program (D1,D2,D3 dan D4) serta program spesialis (Sp1 dan Sp3).
Seiring dengan perubahan IKIP ujung pandang menjadi Universitas Negeri Makassar pada tanggal 20 juni 1996 mengharuskan UNM bertanggunjawab akan dua jalur tersebut, yaitu jalur akademik dan jalur profesional. Perubahan tersebut diharapkan menjadi awal akan adanya pemenuhan kebutuhan masyarakat tentang sumber daya manusia yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan serta memiliki keterampilan kerja yang praktis. Hal ini juga dapat menjawab tantangan masyarakat terhadap berbagai persoalan yang dihadapi selama ini. UNM akan menjadi universitas negeri kedua yang akan menyuplai tenaga tersebut setelah UNHAS.

Yang menjadi permasalahan dalam konteks sekarang ini adalah benarkah UNM setelah terbentuk beberapa tahun yang lalu sudah ada indikasi untuk memenuhi harapan – harapan tersebut. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut ada beberapa hal yang mesti dilihat lebih jauh dari berbagai fenomena di Universitas tercinta ini. Pertama Rendahnya tingkat pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja. Hal in dapat di lihat dari alumni UNM di berbagi tempat kerja, beberapa perusahan justru lebih memilih perguruan tinggi dari luar UNM seperti UNHAS dan universitas swasta dalam menjalankan perusahaannya. Hal ini disebabkan karna kurangnya kepercayaan terhadap alumni UNM yang kemudian diperburuk oleh citra UNM yang identik dengan STPDN kedua. Kita juga dapat mempertanyakan angka pengangguran dari alumni UNM serta yang bekerja di luar bidang ilmunya. Bukan itu saja beberapa Alumni yang memiliki jenjang pendidikan murni di UNM harus kembali kuliah mengambil sertifikat mengajar (AKTA 4) Cuma karna kesulitan mendapatkan pekerjaan begitu pula dengan alumni program D3. Salahsatu kasus alumni terbaik di UNM dari fakultas MIPA tahun yang lalu harus kembali kuliah mengambil sarjana pendidikan karna kegamangaman masa depan. He.. he lucu
Kedua Pemerataan kesempatan pendidikan di universitas ini semakin hari semakin memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari biaya sumbangan pendiikan (SPP) yang semakin hari semakin menanjak. Belum lagi pembiyan lain seperti dana lab, IKOMA, sumbangan pemeliharan, uang adminitrasi dan lain – lain. Kondisi inilah yang nantinya akan mengakibatkan beberapa orang yang kurang beruntung tidak dapat lagi menikmati pendidikan di perguruan tinggi ini. Padahal di ketahui bersama satu – satunya keistemawaan UNM di bandingkan universitas lain adalah biaya kuliah yang relatif murah. Jika dalam konteks sekarang hal tersebut sudah berubah, lalu apalagi yang kita banggakan dari UNM. He.. he kasian
Ketiga buruknya menejemen pendidikan di universitas ini. Beberapa aturan akademik serta kebijakan yang dikeluarkan terbiasa untuk tidak konsisten. Liat saja masalah kedisiplinan yang buruk baik dalam hal pelayanan terhadap mahasiswa maupun dalam proses belajar mengajar. Belum lagi masalah pendanaan yang tidak transparan pengelolaannnya. Beberapa lembaga kemahasiswaan cendrum mengeluhkan hal ini, padahal seharusnya pengelolaan pendanaan sudah seharusnya di ketahui secara transparan oleh semua civitas akademik, baik itu pegawai, dosen maupun mahasiswa. Berbagai proyek – proyek pendidikan juga tidak lepas dari kecurigaan – kecurigaan berbagai pihak. Salahcontoh adalah pengeloalaan kuliah kerja nyata (KKN) yang bekerja sama dengan dinas terkait dengan tujuan utamanya melakukan pendataan sangat sarat dengan muatan KKN (korupsi,kulusi dan nepotisme). Ha ha . masa sih.
Keempat kualitas pendidikan yang rendah. Beberapa survei baik oleh diknas maupun lembaga survei yang lain sangat jarang mendapatkan posisi UNM masuk dalam kategori yang baik. Seberapah besar penemuan – penemuan dari ilmu pengetahuan di UNM bermanfaat bagi masyarakat menjadi indikator tersendiri akan mutu. Hampir semua Penelitian yang diadakan di universitas ini hanya merupakan ciplakan – ciplakan dari penemuan orang lain. Lihat saja judul – judul skripsi mahasiswa yang hanya mengulang – ulang tiap tahun dari seniornya serta menciplak dari judul skripsi universitas lain. Ha cape deh.

Beberapa hal tersebut sudah seharusnya menjadi catatan penting bagi para civitas akademika di kampus kita ini. Sudah seharusnya pimpinan universitas menjadi masalah tersebut sebagai masalah yang harus terselesaikan dalam kurung periode kepemimpinannya. Kita membutuhkan pemimpin universitas yang tidak hanya lihai dalam memaparkan program – programnya sebelum terpilih tetapi juga terampil dalam melaksanakannya. Begitu pula memiliki jaringan kerjasama yang luas demi keberlangsungan alumni –alumninya. Kita juga membutuhkan pimpinan universitas yang pro terhadap masyarakat kecil dengan tidak menaikkan SPP, serta tidak melegalkan pungutan – pungutan lain. Serta pimpinan yang pro terhadap pemberantasan KKN di universitas ini. semoga…

* Penulis adalah Alumni dan pengangguran dari UNM

Jumat, 08 Februari 2008

POLITIK GERAKAN MAHASISWA DALAM PEMBELAAN KAUM TERTINDAS

Oleh : akmal nur*

Kondisi sosial
Ada apa dibalik ini semua. Kalimat ini merupakan pertanyaan yang sangat tepat diungkapkan dalam melihat fenomena sosial yang terjadi di Indonesia. Menurut M. Hatta kelihatan realitas sosial aneh – aneh yang tidak cocok dengan pengertian keadilan dan kebenaran, dimana beberapa tempat rakyat mati kelaparan dan di tempat lain makanan itu berlebih dan menjadi makanan hewan peliharaan. Di tempat pemukiman kaum elit misalnya, kita banyak menjumpai makanan di berikan kepada anjing peliharaan mereka dan di pemukiman kumuh kita dapat menyaksikan kelaparan yang melilit penghuninya. Inilah salah satu tanda bagaimana ganasnya kehidupan dan sistem sosial yang ditata oleh struktur kenegaraan berlandaskan kapitalisme. Diketahui bersama bahwa dalam skala kolektif kapitalisme telah melahirkan struktur sosial yang sangat timpang dan skala personal menciptakan manusia – manusia berorientasi kehidupan materil yang dapat memakan hak – hak sesamanya sendiri.
Ketimpangan sosial yang terjadi melahirkan berbagai persoalan yang dihadapi saat ini. Kecemburaan sosial yang sewaktu – waktu terjawantahkan dalam kekerasan massa, kemiskinan yang melahirkan tindakan perampokan, pencurian, dan criminal lain, pengangguran yang melahirkan anak jalanan, serta fenomena lain beserta implikasinya yang turut mewarnai tata kehidupan kita. Namun dibalik semua itu prilaku penguasa cendrum menutupi dengan permainan tanda yang mereka pertontongkan, sehingga yang lahir kemudian adalah kontradiksi – kontradiksi sosial. Ketika Indonesia menrima penghargaan dari organisasi PBB (FAO), saat itu juga di pertontongkan kasus kelaparan di Irian jaya dan busung lapar NTT, Pada Saat Indonesi menyepakati MdGs yang merupakan sikap beberapa negara untuk mengatasi masalah sosial seperti kemiskinan, justru kita dihadapkan pada data angka kemiskinan yang semakin melonjak, disaat Indonesia memiliki komitmen membantu negara lain yang lemah justru kebijakan mebantuh negara penjajah seperti dalam kasus Iran. Begitu pula pada system kenegaraan kita dimana Negara kita sangat hobi membuat dan mengotak atik Undang – undang tapi giliran melaksanakan, semua seakan tidak tahu masalah, seperti Penegak hokum yang justru melanggar hokum, pendidik yang tidak berpendidikan, birokrasi yang tidak bermoral, serta aktifis yang melacurkan intelektualnya.
Melihat fonomena tersebut, berbagai sikap kemudian muncul dalam masyarakat. Ada yang optimis tetapi sebahagian besar pesimistis. Melakukan tindakan yang tidak rasional seperti kekerasan dan kriminalitas menjadi trend di masyarakat, selalu menyalahkan orang lain atau kelompok lain adalah salah satu indikatornya yang sesekali diiringi dengan ekslusifitas membawa identitas suku, ras, dan agama. Pada akhirnya masyarakat secara kolektif mengalami depresi yang sangat akut, dan dalam situasi inilah kita tunggu kehancuran bangsa Indonesia. Benarkah bangsa Indonesia tidak dapat bangkit seperti Negara – Negara tetangganya yang memiliki kesamaan masalah krisis di era 90-an. Seperti malesyia dan Vietnam serta Negara lain. Kita mempunya banyak ilmuan di berbagai bidang ketimbang Negara lain tetapi mengharap mereka memberikan solusi adalah ilusi mengingat sebahagian besar dari mereka hanya bisa beronani intelektual.



LK sebagai lembaga perjuangan

Berbagai fenomena yang dialami oleh bangsa kita sudah harus terjawab dan terselesaikan dengan syarat materi walaupun di mungkinkan secara parsial saja. Salah satu syarat materil tersebut adalah adanya lembaga atau organisasi yang radikal dan didalamnya terdapat manusia atau sumberdaya yang militan, memiliki bekal idiologi, dan praktek - praktek revolusioner, ketiadaan syarat ini hanya melahirkan gerakan - gerakan pragmatis dan opurtunis. Lembaga kemahasiswaan yang merupakan wadah perjuangan telah mengedentikakkan dirinya secara historis sebagai institusi pembelaan terhadap kaum lemah dan terpinggirkan.Sehingga lembaga ini bertanggunjawab akan sebauh tatanan sosial yang menjungjung nilai - nilai keadilan dan kebenaran.
Pergerakan mahasiswa dalam sebuah wadah lembaga kemahasiswaan cendrum selama ini mengalami tantangan antara lain pertama gerakannya masih sangat primordial dan bersifat elitis, terkadang banyak isu atau wacana strategi yang digunakan dalam pergerakan hanya bersifat lokalitas tampa memperhatikan bahwa bukan hanya lembaga kemahasiswaan yang ingin melakukan perubahan. Kedua gerakan lembaga kemahasiswaan baru sampai pada tingkat yang sifatnya abstrak dan belum terlalu menyentuh hal - hal yang sifatnya kongrit dan ketiga lahirnya lembaga gerakan mahasiswa 86 (istilah mahsiswa penjual gerakan) yang sangat menodai idealisme gerakan kemahasiswaan yang lain. Selain hal tersebut gerakan mahasiswa masih diperhadapkan pada berbagai krisis seperti krisis massa, krisis issu/wacana, krisis kepercayaan, dan krisis jaringan.Hal - hal tersebut perlu di carikan formula yang tempat untuk melangkah lebih jauh.
Lembaga kemahasiswaan sudah seharusnya mengevaluasi kembali pola gerakan yang selama ini dilakukan. akan tetapi tidak pola yang lama harus ditinggalkan. Salahsatu contoh adalah pengoptimalan pola berbasis jaringan, khususnya dengan lembaga yang memiliki tujuan yang sama dalam pembelaan kaum tertindas, baik itu beridiologi kiri, kanan, maupun lingkungan.Sehingga tercipta sebuah sinergitas gerakan yang massif. Akan tetapi bagaimana mungkin melakukan hal tersebut ketika lembaga kemahasiswaan sendiri tidak solid. Selain hal tersebut gerakan lembaga kemahasiswaan sudah harus melakukan elaborasi gerakan, lembaga pers mahasiswa harus menjadi provokotar atas ketimpangan sosial, lembaga kesenian harus menciptakan nyayian dan sastra meransang nurani pemberontakan rakyat, lembaga penelitian harus menyiapkan data dan informasi akan ketimpangan sosial, lembaga dakwah harus memberikan dokrin – dokrin ajaran yang progresif serta lembaga – lembaga kemahasiswaan yang lain yang berbasiskan apapun sudah seharusnya mengarahkan arah geraknya pada lahirnya sebuah perubahan sosial. Begitu pula kehadiran lembaga kemahasiswaan eksternal harus mendorong kader – kadernya untuk menjadi penggerak lembaga internal, karna tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan lembaga eksternal sangat dibutuhkan dalam persoalan elaborasi wacana dan suplai sember daya manusia, walaupun kita tidak meragukan pengkaderan yang dilakukan lembaga internal.
Strategi gerakan mahasiswa sudah seharusnya bergerak juga pada wilayah moral structural tampa menafikkan independensi lembaga selain gerakan kultur. Selama ini mahasiswa sangat tabu untuk bersentuhan pada wilayah struktur sehingga identitas yang terbangun adalah gerakan oposisi. Yang penulis maksudkan dengan gerakan moral structural adalah pemanfaatan ruang – ruang struktur untuk melakukan desakan atau masukan terhadap sebuah kebijakan. Beberapa poin – poin dalam undang – undang kita telah memberikan ruang – ruang untuk itu seperti pembentukan beberapa komisi Negara yang dapat dijadikan mitra untuk memperjuangkan hak – hak rakyat. Serta gerakan mahasiswa harus memanfaatkan orang – orang dalam struktur yang masih memiliki sedikit idealisme, walaupun sebahagian dari mereka memiliki mental yang bobrok. Sehingga identitas gerakan yang terbangun adalah gerakan kritis konstruktif.
Kekalahan juga gerakan mahasiswa dalam konteks sekarang ini yang serba ilmiah adalah kekalahan dalam pertanggunjawaban isu. Pernyataan serta argument mahasiswa selalu dinilai sebagai angin lalu karna tidak dapat dipertanggunjawabkan secara ilmiah. Kebanyakan dari mahasiswa hanya bermain pada wilayah – wilayah asumsi tampa dilengkapi dengan data atau istilahnya anak – anak sekarang “banyak ngomonnya kurang datanya”. Sehingga ketika mereka diperhadapkan pada sebuh forum ilmiah menjadi asalbunyi (asbul). Untuk kondisi inilah peran lembaga penelitian mahasiswa dibutuhkan.
Beberapa catatan diatas mudah - mudahan menjadi refleksi akan keberlanjutan gerakan lembaga kemahasiswaan. Merindukan gerakan moral mahasiswa dalam kondisi sosial yang carut marut sekarang ini menjadi suatu hal yang penting. Rakyat sudah lelah bermimpi akan sebuah perubahan dari mereka yang dipercayakan di lembaga pemerintahan. Kini saatnya bangkit melawan atau diam dalam ketertindasan.

*Penulis adalah ketua komisi EKOPOL MAPERWA UNM

PENGOSONGAN KAMPUS DALAM TINJAUAN EKONOMI POLITIK

OLEH ; Vladimir Ake*

Wacana pengosongan kampus bergulir kembali di UNM, pelaksanaan rakerda di kota pare - pare yang dilakukan birokrasi UNM telah melahirkan rekomendasi tentang pengosongan kampus pada malam hari. Wacana ini bukan hanya muncul pertama kalinya akan tetapi hampir dari setiap inseden atau kasus perkelahian tejadi di UNM, hal tersebut selalu menjadi tawaran atau solusi terakhir dari masalah yang ada. Dan selama itupun juga menjadi penolakan dari mahasiswa khususnya yang berada di lembaga kemahasiswaan. Maklum pengosongan ini dianggap sangat membatasi mahasiswa dalam melakukan aktifitanya untuk berkreasi di dalam kampus.
Sebagaimana sebelum - sebelumnya wacana ini menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan akademisi, baik itu antar mahasiswa, maupun antarbirokrasi dengan mahasiswa. Hal ini terjadi karma dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Bagi yang pro, wacana tersebut dilihat sebagai sebuah hal yang sangat efektif untuk mencegah terjadinya perkelahian antar mahasiswa, mengingat bahwa selama ini kebanyakan insiden yang terjadi dimulai dari pemukulan oleh oknum mahasiswa terhadap mahasiswa lain padamalam hari dan berlanjut pada peran antar kelompok pada siang harinya. Hal ini juga dipicu oleh ketidaksadaran oknum mahasiswa yang melakukan tersebut karna mungkin kurang tidur atau penyebab lain. Dan bagi yang kontra wacana tersebut dianggap sangatlah merugikan mahsiswa, soalnya kerja – kerja kelembagaan akan menjadi terhambat. Hal ini disebabkan karna jadwalkuliah yang semakin padat disiang hari sehingga kerja – kerja kelembagaan hampir semua di lakukan pada malam hari. Kedua pendapat tersebut masing – masing diwakili oleh birokrasi dan mahaisiswa yang tidak terlibat dilembaga sebagai kelompok pro dan pendapat yang kontra lahir dari pengurus lembaga kemahasiswaan.
Memilih kedua pendapat tersebut, seharusnya bukan berdasarkan pada kepentingan kita masing – masing, akan tetapi harus dilihat dari interpretasi rasionalitas, sehingga dapat juga di pertanggunjawabkan secara rasio dan tidak terlalu dinilai pragmatis. Paling tidak Ada beberapa perhatian penulis yang dapat dijadikan pertimbangan pertama, alasan politis, kasus ini mengingatkan kita pada era delapan puluhan dimana keluarnya kebijakan pemerintah melakukan normalisasi kampus yang akan mengganggu kelanggengan kekuasaan, dimana pada saat isu – isu politik menjadi wacana yang merebak dikampus. Kebijakan ini dikenal dengan NKK/BKK. Pengekangan mahasiswa dalam berkreasi didalam kampusdirasakan sampai era reformasi. Kegiatan diluar akademik dianggap sebagai suatu yang haram untuk dilakukan seperti diskusi tentang politik, apalagi penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang menindas rakyat. Peristiwa tersebut memiliki relevansi terhadap kondisi yang terjadi pada era sekarang ini termasuk wacana pengosongan kampus. Kita dapat menyaksikan di berbagai kampus pengekangan terhadap aktifitas mahasiswa diluar akademik (fersi birokrasi) terjadi diberbagai kampus khususnya di makassar. Model yang dipakai berbeda – beda, di UNHAS misalnya bagi mahasiswa yang akan melakukan diskusi harus melapor kepada satpan, itupun judul diskusi mereka harus diferifikasi oleh mereka. Di UMI mahasiswa yang dianggap kiri ( selalu melakukan perlawanan terhadap kebijakan yang merugikan) akan dikeluarkan dari kampus tersebut, di UNM bagi mahasiswa yang melakukan demonstrasi akan disiapkan preman untuk menghalangi. Dari gambaran tersebut dapat memunculkan sebuah asumsi bahwa wacana pengosongan kampus adalah bentuk dari kelanjutan dari proyek normalisasi kampus oleh birokrasi.
Asumsi tersebut muncul dari pemikiran saya yang melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang sangat lucu. Karna pengosongan kampus sebagai solosi dari perkelahian selama ini, adalah suatu hal yang sangat keliru. Ada beberapa hal kenapa saya mengatakan keliru. Pertama belum ada bukti secara obyektif pengaruh negatif keberadaan mahasiswa didalam lembaga kemahasiswaan terhadap tauran yang terjadi. Karna perlu diketahui bersama bahwa yang memicu pada malam hari terjadinya tawuran adalah oknum mahasiswa saja yang biasanya berada diluar lembaga kemahasiswaan.walaupun sebagian dari mereka adalah warga lembaga kemahasiswaan. Sehingga menurut saya, birokrasi tidak harus mengorbankan lembaga kemahasiswaan hanya karna prilaku salah satu oknum. Kedua Belum ada ketegasan aturan oleh birokrasi terhadap pelaku – pelaku yang telibat, yang seharusnya hal tersebut menjadi solusi yang tidak bias ditawar – tawar, Ketiga belum adanya maksimalisasi peran pengamanan (satpan) dikampus, seharusnya pihak pengamanan dikampus ini menjadi pemantau atau intelejen terhadap kegiatan mahasiswa didalam kampus pada malam hari, dan informasi tersebut menjadi refrensi bagi birokrasi untuk menegakkan aturan.
Pertimbangan kedua, selain pertimbangan politik, juga merupakan pertimbanga ekonomi. Pemakaian fasilitis oleh lembaga kemahasiswaan seperti listrik membuat pimbiayaan untuk alokasi ini tidaklah sedikit. Sehingga dengan pengosongan kampus diharapkan beban birokrasi untuk pembiayaan itu dapat dialihkan untuk sektor lain.. Alasan ekonomi ini mungkin akan sedikit rasional akan tetapi harus dengan pengkajian lebih jauh. Perlu saya informasikan bahwa dana yang turuk ke lembaga kemahasiswaan termasuk biaya listrik telpon, air dan lain – lain itu juga merupakan dana dari mahasiswa yang di bayar dalam bentuk sumbangan yang dipaksakan dan dikenal dengan SPP (sumbangan pembiayaan pendidikan). Serta dana lain dari pemerintah yang juga didapatkan dari hasil perampokan pemerintah terhadap rakyat lewat upeti yang bahasa idealnya dikenal dengan pajak. Sehingga menurut penulis suatu kewajaran jika dana tersebut dipergunakan untuk kepentingan mahasiswa dalam menumbuhkan potensinya guna membangun Bangsa dan Negara kedepan.
Apapun alasannya, wacana pengosongan kampus baik itu dari segi tinjauan politik maupun ekonomi tidaklah dapat dibenarkan. Mahasiswa bukan lagi manusia yang tidak sadar dan dapat di bodohi dengan sebuah retorika, akan tetapi mahasiswa yang saya kenal adalah manusia yang selalu berfikir rasioanal. Kita tidak akan pernah lagi menginginkan kejadian seperti orde baru yang melakukan pengekangan terhadap potensi mahasiswa dengan NKK/BKK-nya, walaupun sekarang masih dapat dirasakan keberadaannya. Saya kira satu kata untuk semua itu lawan..
Akan tetapi sebagai mahasiswa kita juga harus melakukan intropeksi diri terhadap apa yang telah kita lakukan untuk kepentingan rakyat yang selama ini rela menyumbangkan materinya untuk salahsatunya pembiayaan kita di kampus. Apakah seluruh kreasi dan aktifitas kita semua menyentuh dan membantu mereka dalam menghadapi segala kompleksitas persoalan yang dihadapi, atau mungkin juga telah mempersiapkan diri untuk membantu mereka. Sehingga anggapan sebahagian orang yang mengatakan keberadaan kita di lembaga kemahasiswaan hanya menikmati fasilitas yang ada tampa melakukan kegiatan yang menyentuh masyarakat yang selamaini mebiayai kita. Dan jangan sampai anggapan untuk mengosongkan kampus hanya karena melihat kita tidur gratis dikampus, main komputer gratis, nonton gratis serta gratis – gratis yang lain. Penulis kira semoga kita tidak seperti itu.

* Penulis adalah ketua komisi EKOPOL MAPERWA UNM dan anggota INTRAS Makassar.

PELANGGARAN HAM TRISAKTI DAN SEMANGGI

Oleh. Akmal Nur*

Pada tahun 1997 bangsa Indonesia dilanda krisis moneter yang menimbulkan penderitaan terhadap rakyat. Keinginan akan perubahan bangsa Indonesia kearah yang lebih baik dan bangkit dari krisis ekonomi semakin meruncing pada keinginan adanya seorang pemimpin baru dan sistem keindonesian yang baru, Hal ini terlihat dari aksi mahasiswa dan masyarakat tidak menginginkan kembali presiden soharto disahkan kembali menjadi presiden yang kelima kalinya, yang menurut mereka merupakan otak dari seluruh rangkain krisis yang dialami bangsa ini. Namun MPR tidak mempedulikan hal tersebut.sehingga Gerakan massa tidak henti – hentinya melakukan aksi dalam menuntut sebuah perubahan.
Salah satu gerakan massa yang kita kenal berasal dari mahasiswa Universitas Trisakti yang turut prihatin terhadap kondisi kebangsaan pada saat itu walaupun mahasiswa di universitas ini dikenal sebagai golongan menegah keatas, berbagai aksi gerakannya berbuntut pada tanggal 12 mei 1998 yang dimulai dari aksi demonstrasi dari kampus di grogol menuju kantor DPR/MPR yang dihadang oleh aparat kepolisian yang memaksa mereka kembali ke kampus yang di kawal oleh aparat namun pada sore hari menjelang magrib, para mahasiswa yang berkumpul tiba – tiba dikagetkan oleh penyerangan aparat secara fisik yang melakukan penembakan dan penganiayaan yang menimbulkan 4 orang korban mahasiswa meninggal dunia dan peristiwa ini dikenal dengan kasus trisakti 1998.
Peristiwa tersebut telah menumbuhkan perlawanan yang lebih serentak yang dilakukan oleh mahasiswa yang tidak hanya menurunkan suharto akan tetapi menuntut reformasi yang mengusung beberapa tuntutan diantaranya adili suharto, penegakan supremasi hukum, hilangkan dwifungsi ABRI dan seterusnya. Frekuensi demonstrasi mahasiswa semakin intensifb dan dilakukan pengerahan massa secara besar – besaran kekantor DPR/MPR setelah ditetapkannya TAP MPR No X pada tanggal 22 juli 1998 tentang pelaksanaan Sidang Istimewa ( SI ) yang ingin mengesahkan secara legitimate presiden, karna selama ini presiden B.J Habibie merupakan pemerintah transisi setelah presiden suharto mundur dari jabatannya. Walaupun gerakan mahasiswa pada saat itu terpecah menjadi dua kelompok, ada yang menerima SI dan ada yang menolak, akan tetapi gelombang massa kembali tak surut dari hari – kehari. Kondisi ini dinilai oleh aparat keamanan dan pertahanan dapat mengancam keamanan dan ketahanan nasional. Sehingga pada tanggal 13 november 1998 tragedi kembali terjadi, massa yang terdiri dari mahasiswa dari berbagai universitas dan masyarakat dari berbagai elemen dalam melakukan aksi demonstrasi menolak SI dan menuntut reformasi dihadang oleh aparat Kodam jaya yang dibantu pamswakarsa dengan melakukan penembakan kearah massa dan penganiayaan yang menimbulkan korban sesuai laporan KOMNAS HAM luka 109 dan 18 orang meninggal dunia. Tragedi ini disebut kasus semanggi I. Kejadian serupa kembali terjadi pada tempat yang sama pada tanggal 24 september 1999 walaupun dengan tuntutan utama yang berbeda yaitu penolakan terhadap rancangan undang – undang penanggulangan keadaan bahaya (RUU PKB) yang dinilai jauh dari prinsip – prinsip hak asasi manusia. Menurut laporan pneyelidikan, peristiwa ini mengakibatkan 8 orang meninggal dan 565 orang luka – luka yang lagi – lagi disebabkan oleh tindakan yang tidak manusiawi dilakukan oleh aparat keamanan. Peristiwa ini dikenal dengan kasus semanggi II
Tragedi tersebut hanyalah serangkain peristiwa dari sekian banyak kasus yang mengusik hati nurani kita yang ingin berkata kejamnya aparat keamanan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Tragedi ini juga mendorong kita untuk mempertanyakan adakah keadilan dinegeri ini yang mengaku Negara hukum?. Dan hal tersebut juga mengindikasikan tidak adanya perlindungan Hak Asasi Manusia bagi rakyat Indonesia. Prilaku sebagaimana dicontohkan oleh aparat kemanan sebagaimana diatas yang telah menimbulkan korban, dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan, terkecuali kita menganggap mereka sebagai tidak punya lagi rasa kemanusiaan. Sehingga peristiwa tersebut harus diproses sesuai dengan nilai keadilan para korban yang tidak hanya dilihat sebagai kasus biasa akan tetapi pelanggaran terhadap nilai – nilai mendasar dari kemanusiaan.
UU HAM dan kasus Trisakti/ Semanggi
Berbagai kasus kemanusian yang terjadi dan dilatarbelakangi dari pemahaman bahwa kasus pelanggaran tentang hak asasi manusia bukan hanya persoalan suatu bangsa akan tetapi telah menjadi persoalan internasional sebagaimana dengan adanya DUHAM ( The Universal Declaration of Human Right ) yang diproklamasikan oleh PBB pada tahun 1998 telah mendorong lahirnya instrument hukum perlindungan Hak Asasi Manusia. Lahirnya Undang – Undang HAM No. 39 Tahun 1999 dan Undang – undang Pengadilan HAM No 26 tahun 2000, dan keputusan presiden KEPRES tentang pembentukan KOMNAS HAM yang melakukan penyelidikan terhadap kasus – kasus pelanggaran HAM. Semua instrument ini dijadikan landasan bagi masyarakat untuk menilai yang mana kasus pelanggaran HAM berat dan yang mana kasus pelanggaran criminal biasa.
Ruang lingkup HAM sebenarnya memiliki cakupan yang sangat luas, baik itu bidang politik,sosial, ekonomi maupun budaya. Berikut pengertian dalam DUHAM 1948 bahwa “Hak asasi manusia adalah hak – hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal dan abadi, sebagai anugrah tuhan yang maha esa, meliputi hak untuk hidup, berkeluarga, hak untuk mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, hak kesejahteraan, yang oleh karna itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun, selanjutnya manusia mempunyai hak dan tanggungjawab sebagai akibat perkembangan kehidupan dalam masyarakat”. Adapun HAM dalam UUPHAM Pasal 1 angka 1 “ Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dihormati, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Sedangkan pelanggaran terhadap HAM berat lebih lanjut dibedakan atas dua sebagaimana diatur dalam pasal 8 dan 9 UU PHAM. Pasal 8 tentang kejahatan genosida yaitu setiap perbuatan dengan maksud mengahancurkan dan memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, agama, ras, dan etnis. Perbuatan yang dimaksud membunuh, menganiaya, dan seterusnya (baca UU PHAM). Sedangkan pasal 9 tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis. Diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Perbuatan tersebut dapat berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik secara sewenag –wenang yang melanggar (asas – asas) ketentuan pokok hukum internasianal, penyiksaan dan seterusnya (baca UU PHAM).
Melihat penjelasan tersebut diatas maka kasus yang dilakukan oleh aparat keamanan masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat sebagai salah satu kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebagai mana dalam laporan hasil penyelidikan KOMNAS HAM yang masuk di kejaksaan. Pembunuhan dan penganiayaan yang dilakukan aparat keamanan yang bukan hanya terdiri dari mahasiswa saja tetapi juga masyarakat sipil, sehingga perbuatan tersebut dianggap penyerangan secara sistematis atau meluas terhadap penduduk sipil yang melakukan pembunuhan dan pembantaian secara tidak manusiawi. Dalam kasus tersebut, jelas juga terlihat bahwa metode penyelesaian yang dilakukan oleh aparat tidak dilakukan secara persuasive tetapi sangat represif.
Namun yang menjadi permasalahan sekarang ini adalah tidak adanya keseriusan pemerintah dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat tersebut, hal ini terlihat jelas dari beberapa kali kejaksaan menolak kasus ini dari KOMNAS HAM dengan alasan tidak memiliki fakta yang kuat. Akan tetapi setelah kasus ini diterima oleh kejaksaan kembali polemik terjadi, pembentukan pengadilan HAM Ad hock sebagaimana diatur bahwa untuk kasus yang terjadi sebelum UUHAM di undangkan, maka pemerintah membentuk pengadilan HAM ad hock atas usulan DPR. Sebagaimana UUPHAM pasal 43 ayat 2 bahwa pengadilan HAM ad hock sesuai penerapan asas retroatif yang melibatkan DPR RI. Instrumen ini yang menjadi alasan mengapa DPR RI ikut menentukan kasus – kasus hukum padahal lembaga ini adalah lembaga politik. Sebagai mana lembaga politik maka keputusan juga yang diambil sangatlah politis. Hal ini dapat dilihat dari kandasnya kasus trisakti semanggi dimeja DPR pada awal mei 2007 baru – baru ini dengan penolakan mayoritas fraksi di tempat terhormat tersebut, hanya dua fraksi menyetujui pembentukan pengadilan HAM ad hock dan selebihnya menolak dengan menganggap kasus tersebut hanyalah kasus biasa yang dapat diselesaikan di pengadilan umum.
Setidaknya ada dua mengapa sikap seperti itu diambil oleh wakil kita yang terhormat itu. Pertama ada sebuah ketakutan politik, ketika kasus ini diungkap maka para elit – elit politik banyak yang akan masuk penjara. Padahal elit – elit ini merupakan kader partai atau turut membesarkan partai, dan selama ini mereka berlindung dibawah partai. Kedua, Moral wakil – wakil rakyat telah tidak ada, mereka layaknya seperti manusia yang tidak punya hati nurani. Tidak mampu melihat persoalan secara obyektif dan peka terhadap penderitaan para korban yang bukan hanya dirasakan oleh keluarga korban akan tetapi seluruh bangsa Indonesia. Kita memang tidak pernah berharap banyak pada anggota dewan kita, karna selama ini mereka telah banyak berprilaku tidak memihak pada rakyat. Mungkin kita hanya berharap kapan mereka bertobat.
Dengan ditolaknya pembentukan HAM ad hock oleh DPR maka harapan untuk menuntaskan kasus ini semakin jauh. Sebagaimana diketahui bersama bahwa memang di negeri ini keadilan melalui jalur hukum sangat susah untuk didapatkan. Justru ketidak adilanlah yang sering dipertontongkan dihadapan kita. Contoh kasus diatas paling tidak memberikan gambaran tentang hal tersebut dan sebagai kasus untuk mulai mempertanyakan adakah yang salah dinegeri ini?. Kasus ini hanyalah sebagian kecil kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia yang mengalami nasib buruk. Masih banyak kasus – kasus lain yang sampai kini belum memiliki kepastian hukum, kasus tanjung priok, pembunuhan munir, kasus pembantaian etnis dibeberapa daerah dan lain – lain. Kesemuanya itu akan menjadi drama seri bersambung dan berakhir dengan kekecewaan korban dan rakyat Indonesia. Akan tetapi kita tetap berharap akan sebuah keberanian presiden untuk mengambil kebijakan dalam menuntaskan kasus - kasus tersebut tampa mempedulikan DPR.

* Penulis adalah Aktifis mahasiswa UNM (Ketua Komisi EKOPOL MAPERWA UNM)

SPMB DAN MASA DEPAN PENDIDIKAN

Oleh .Akmal nur

Sudah merupakan asumsi umum bahwa pendidikan adalah komponen yang paling mendasar untuk mengantarkan manusia menuju kehidupan yang lebih baik. Secara personal diharapkan menjadi legitimasi dan media dalam merubah status sosial yang lebih tinggi ditengah masyarakat dan dalam skala global diharapkan menjadi proses lahirnya sebuah peradaban yang lebih maju. Begitu pentingnya akan sebuah harapan dalam pendidikan sehingga pengelolaannya dilaksanakan secara sistematis dan terintegrasi. Oleh sebab itu jenjang – jenjang pendidikan sebagai usaha sadar yang tersistematis dalam pelaksanaannya harus mendapatkan kontrol dan evaluasi secara menyeluruh, mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menegah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi (PT).
Sebagai sebuah sistem yang diawasi, maka kontrol yang dilakukan bukan saja pada output yang dihasilkan akan tetapi juga pada proses, input dan alat control itu sendiri. Sejauhmana kualitas output yang dihasilkan sangat tergantung dari bagaimana inputnya, prosesnya serta validitas alat kontrolnya. Dalam implementasinya dapat diamati pertama kualitas hasil salahsatunya dilihat dari evalusi pada Ujian Nasinal (UN), kedua proses pendidikan dapat dilihat dari bagaimana pemenuhan standar – standar pendidikan seperti standar kompetensi pendidik, standar mutu, serta standar sarana dan prasarana, dan yang ketiga bagaimana inputnya, dapat dilihat dari penerimaan peserta didik baik itu melalui seleksi penerimaan seperti ujian tes dan SPMB maupun metode yang lain.
Menjadi problem dalam konteks dewasa ini adalah sejauhmana para pengambil kebijakan dalam pendidikan melihat hal tersebut secara terintegral dan sejauhmana implementasi kontrol yang dilakukan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan dan tidak mencederai nilai – nilai keadilan dalam masyarakat. Berbagai evaluasi pendidikan yang dilakukan pengambil kebijakan dewasa telah menuai kritik dan berbagai protes dari berbagai kalangan karena dianggap penuh dengan ketidakadilan merupakan salahsatu indikasi buruknya sistem evaluasi pendidikan dan instrument yang digunakan. Jangankan mengharapkan sistem evaluasi yang adil, dalam penyelenggaraan secara umumpun sangat jauh dari nilai – nilai keadilan dan kemanusiaan. Sebut saja masalah pendanaan yang semakin mahal, distribusi sarana dan prasarana yang tidak merata di berbagai daerah serta pembedaan dalam segala hal seperti sekolah unggulan dan bukan unggulan. Kesemuanya merupakan cerminan sistem pendidikan yang tidak berjalan sesuai dengan diharapkan.

Diskriminasi dalam SPMB
Tahun 2007 tercatat sebanyak 56 perguruan tinggi negeri diseluruh Indonesia tergabung untuk melaksanakan seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) dengan daya tampung mencapai 96.066 dan program studi 1.799. Hal sangat menarik untuk diamati jika dibandingkan dengan siswa yang akan lulus di tingkat SMA atau sederajat dengan jumlah diperkirakan sebanyak 2.075.800 dari jumlah peserta UN (www.tribuntimur.com), pertanyaan mendasar adalah kemana siswa yang lain akan melanjutkan pendidikannnya yang kurang lebih 1.979.734, jika melihat daya tampung perguruan tinggi negeri. Maka jawaban pertama adalah kuliah diperguruan tinggi swasta dengan biaya yang tidak perlu dipertanyakan lagi mahalnya, kedua mencari pekerjaan dengan harapan yang hampir mustahil dan ketiga seperti pemuda yang lain dengan menganggur. Ketiga alternatif tersebut sangat tergantung dari status dan kemampuan ekonomi siswa, bagi mereka yang merasa cukup, akan memilih melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi swasta dan bagi mereka yang miskin akan memilih mencari pekerjaan yang sudah diketahui memiliki kemungkinan yang kecil dan terakhir menjadi pengangguran.
Fenomena tersebut palingtidak memberikan gambaran bahwa ketidakmampuan perguruan tinggi negeri menampung peserta didik membawa masalah tersendiri bagi mereka yang masih ingin melanjutkan pendidikannya. Dengan asumsi bahwa sebahagian besar yang tidak lulus pada SPMB adalah mereka yang tidak pernah ikut bimbingan belajar, tidak dapat membeli buku – buku SPMB, dan tidak memiliki sarana lain dalam menghadapi ujian tersebut karena mereka adalah orang yang kehidupannya kekurangan, dibandingkan dengan orang kaya yang memiliki fasilitas tersebut. Menjadi pertanyaan adalah siapa sebenarnya yang disubsidi oleh pemerintah?, apakah mereka yang lulus pada SPMB dan kuliah di PT negeri dan rata – rata adalah orang kaya atau mereka yang tidak lulus SPMB yang rata – rata adalah orang miskin dan kuliah PT swasta?. Tentu saja jawabannya adalah mereka yang kaya karena mereka kuliah di perguruan tinggi negeri yang disubsidi oleh pemerintah.
Bukan hanya pada keterbatasan perguruan tinggi negeri menampung mahasiswa terjadi masalah dalam penerimaan mahasiswa baru akan tetapi diskriminasi juga sudah dapat diamati mulai dari pendaftaran sampai pada kelulusan SPMB nantinya. Walaupun penyelenggaran penerimaan mahasiswa baru melalui jalur SPMB serentak akan diadakan pada tanggal 4 juli 2007 namun beberapa perguruan tinggi telah melakukan penerimaan dengan seleksi lain melalui penerimaan jalur khusus seperti JNS (jalur non subsidi) seperti yang dilakukan di UNHAS dan perguruan tinggi lain. Perlu diketahui bersama bahwa penerimaan mahasiswa baru lewat jalur ini bukan diperuntukkkan lagi -lagi untuk orang miskin tetapi bagi orang yang kaya karena jalur ini mensyaratkan dana sebesar Rp 100 juta rupiah untuk jurusan terfaforit seperti kedokteran. Hal tersebut lebih memperjelas bahwa orang miskin benar - benar dilarang kuliah.

Masa depan pendidikan
Implementasi SPMB sudah seharusnya mempertimbangkan berbagai ketimpangan yang terjadi baik itu pada pelaksanaan seperti perjokian dan kebocoran soal yang telah menjadi masalah klasik tiap tahun maupun ketimpangan sebagaimana diatas. Melakukan seleksi untuk menjaring siapa yang mampu kuliah diperguruan tinggi negeri dengan asumsi sebagai sistem kontrol terhadap input perguruan tinggi adalah tindakan yang wajar akan tetapi pelaksanaan kontrol tersebut menimbulkan efek diskriminasi adalah tindakan yang tidak wajar. Sehingga yang dibutuhkan adalah bagaimana mekanisme kontrol ini berjalan tampa adanya diskriminasi antara siswa yang kaya dan siswa yang miskin dalam melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi.
Terdapat beberapa hal yang seharusnya dilaksanakan sebelum penerapan dan sesudah SPMB. Pertama pemerataan standar penyelenggaraan pendidikan khususnya jenjang pasca peguruan tinggi. Hal ini dilakukan mengingat dewasa ini standar penyelenggaraan pendidikan ditingkat SMU yang memiliki kesenjangan yang memprihatinkan seperti sarana dan prasarana sekolah diperkotaan dan pedesaan, belum lagi terdapat sekolah unggulan dan nonunggulan, dengan pemerataan tersebut SPMB menjadi lebih fear. kedua menciptakan lapangan kerja. Ini dilakukan untuk memberikan alternatif lain bagi mereka yang tidak lulus SPMB untuk mencari pekerjaan mengingat angka pengangguran setiap tahun bertambah seiring dengan penentuan kelulusan SPMB. Ketiga penghapusan seluruh seleksi penerimaan yang lebih mengutamakan komersialisasi pendidikan seperti jalur non subsidi karena hal tersebut sangat jauh dari subtansi kesamaan masyarakat mendapatkan pendidikan.
Beberapa persoalan dan upaya yang harus dilakukan tersebut adalah sebuah refleksi bersama dalam meneropong masa depan pendidikan. Problem tersebut adalah sekelumik persoalan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Walaupun persoalan pendidikan tidak seharusnya diselesaikan secara parsial akan tetapi hal tersebut palingtidak memberikan sedikit gambaran untuk meneropong masalah pendidikan yang lebih besar. Kita masih mengaharapkan keterbelakangan bangsa dapat diatasi dengan pendidikan, kita masih mengharapkan peradaban dapat dicapai dengan pendidikan dan kita masih mengharapkan dengan pendidikan kita lebih bermoral serta berbagai harapan – harapan lain. Dinegri ini kita sudah tidak dapat menghitung banyaknya pakar yang berbicara tentang masalah pendidikan akan tetapi para pengelola pendidikan belum juga bisa sadar dari tidurnya, mungkin dengan berteriak sekeras - kerasnya menjadi solusi yang sudah pantas untuk dilakukan.

* Penulis adalah ketua komisi III majelis permusyawaratan mahasiswa UNM (MAPERWA UNM)

AUTOKRITIK PENGUATAN DEMOKRASI LOKAL DENGAN PILKADA

Oleh. Akmal nur*

Lahirnya Undang – undang tentang otonomi daerah telah membawa harapan bagi bangsa Indonesia tentang sistem kekuasaan yang dulunya sangat terpusat atau sentralisasi menuju desentralisasi. Pelaksanaan otonomi daerah telah menjadi konsumsi ditiap daerah dalam mendorong lahirnya sebuah sistem demokrasi yang belakangan dikenal dengan demokrasi lokal. Berbagai tindakan riil dapat kita lihat dari otonomnya pelaksanaan pemerintahan, pemekaran daerah, pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung dan lain-lain. Hal-hal tersebut paling tidak telah membawa masyarakat pada sebuah pembelajaran politik dalam berdemokrasi sekaligus menimbulkan efek-efek sosial yang tidak diinginkan, ini disebabkan karena kesiapan rakyat akan demokrasi masih dalam tahapan pembelajaran. Secara sederhana demokrasi dapat dimaknai sebagai sebuah sistem politik yang berupaya untuk mengantarkan keputusan-keputusan politik secara partisipatif oleh individu-individu yang mendapatkan kekuasaan melalui persaingan yang adil (fairness competition) dalam memperebutkan suara rakyat. Adapun demokrasi itu telah mewarnai pertarungan politik ditingkat lokal yang melahirkan desentralisasi politik, sehingga pertarungan kepentingan dalam aras lokal dapat terjadi sewaktu-waktu yang dapat menimbulkan prilaku-prilaku kontradiksi sosial yang secara riil dapat kita lihat dalam berbagai kasus-kasus konflik dan kekerasan pada tingkat lapisan masyarakat.
Berbagai kasus kemudian muncul dalam pelaksanaan demokrasi lokal ini, kasus pemekaran daerah diberbagai tempat yang melahirkan konflik sosial atau kerusuhan massa. Masih ada dalam ingatan kita tentang pemekaran daerah Polewali Mamasa dan baru-baru ini pemindahan ibukota banggai Sulawesi Tengah, serta berbagai kasus-kasus lain. Belum lagi perkelahian antara pendukung calon pemerintah daerah dalam pilkada diberbagai penjuru tanah air. Kesemuanya itu telah mewarnai pelaksanaan demokrasi lokal. Efek tersebut menimbulkan dua persepsi. Pertama kasus tersebut dilihat dari persepsi epistimologi sehingga dinilai sebagai sebuah kewajaran mengingat masyarakat juga yang akan diuntungkan adapun efek dari hal tersebut itu karena masyarakat dalam tahapan meraba-raba demokrasi yang selama ini di simpan di gudang istana orde baru. Dan persepsi yang kedua dilihat dari konteks aksiologi menganggap hal ini sebagai suatu hal yang tidak wajar karena yang selalu menjadi korban dari penegakan demokrasi adalah rakyat dan yang diuntungkan adalah elit-elit politik lokal. Sehingga dalam mencermati hal tersebut paling tidak kita harus melihat harapan dan kenyataan pelaksanaan demokrasi lokal, sehingga dalam memandang persolan tersebut kita terjebak pada kedua persepsi yang ada.
Harapan
Pelaksanaan demokrasi lokal diharapkan dalam bentuk pertama dapat menjadi harapan rakyat dalam memajukan daerahnya masing-masing. Sehingga tidak ada lagi kecemburuan sosial yang selama ini terjadi de era orde baru. Dimana pembangunan tidak merata diseluruh penjuru tanah air. Terdapat daerah yang kaya sumberdaya alam akan tetapi memiliki penduduk yang tidak berkembang sebut saja Papua daerah yang setiap harinya menghasilkan berton-ton emas tetapi penduduknya sampai sekarang masih menggunakan koteka. Serta berbagai daerah lain yang memiliki nasib yang sama. Dengan adanya peluang demokrasi lokal yang lahir dari kebijakan otonomi daerah diharapkan dapat mengatasi itu semua. Kedua Dengan penguatan demokrasi lokal diharapkan dapat menjadi kanter lapis kedua terhadap hegemoni pihak asing dalam melakukan infasi ekonomi dan budaya. Kuatnya pengaruh asing dalam konteks sekarang ini mengharuskan kekuatan struktur kenegarahan dalam posisi pertahanan yang lebih kokoh. Hadirnya pemerintah daerah yang otonom dalam mengurusi daerahnya, mempunyai peluang yang sangat besar dalam menentukan kebijakan yang dapat mengkanter infasi bangsa asing. Kebijakan perekonomian misalnya dapat diatur dalam peraturan daerah (PERDA) yang dapat menguntungkan rakyat secara umum. Ketiga Dengan penguatan demokrasi lokal diharapkan peluang akan kesadaran politik masyarakat semakin besar. Dimana akses-akses untuk menyampaikan aspirasi politik semakin jelas. Hal ini berbeda pada zaman orde baru dimana daerah tidak terlalu banyak merealisasikan keinginan masyarakat karena harus mendapat persetujuan dari pemerintah pusat. Keempat pelaksanaan demokrasi lokal diharapkan mampu melahirkan pemimimpin daerah yang memiliki legitimasi politik masyarakat yang kuat dengan adanya pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung (PILKADA).
Kenyataan
Implementasi demokrasi lokal tidaklah sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan, justru dampak yang kita lihat semakin memperburuk tatanan sosial masyarakat yang selama ini hidup secara damai dan tentram. Salah satu contoh adalah pelaksanaan PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) secara langsung. Hampir di berbagai daerah Indonesia dalam menyelenggarakan pilkada diwarnai konflik dan kerusuhan dari pihak yang kalah dan menang dalam pelaksanaannya. Bahkan tak jarang kita menyaksikan diberbagai media aksi kekerasan yang dilakukan menimbulkan berbagai korban jiwa. Menyalahkan masyarakat yang melakukan aksi tersebut bukanlah hal yang sepenuhnya benar, karena sekali lagi aksi yang dilakukan masyarakat terjadi karena ketidaktahuannya terhadap apa yang mereka lakukan, mereka hanyalah boneka-boneka yang dipermainkan oleh elit-elit politik ditingkat lokal. Tak jarang juga kita saksikan berbagai praktik politik busuk dipraktikkan dalam pelaksanaan demokrasi tersebut seperti politik uang, penggelembungan suara, pembusukan nama calon dan sebagainya. Hal itu wajar terjadi pada pelaksanaan demokrasi di Indonesia karena menurut iblis di negeri ini tidak ada yang gratis dan politik memang tidak mengenal salah dan benar tetapi semuanya benar.
Salah satu fakta lagi yang dapat kita saksikan dari besarnya dampak pelaksanaan demokrasi lokal adalah lahirnya elit-elit baru atau penindas baru ditingkat lokal. Beberapa daerah yang telah melaksanakan salahsatu pesta demokrasi (Pilkada), serta menerapkan konsep otonomi daerah secara prosedural justru merasakan kondisi yang sama dengan sebelum pelaksanaan tersebut, bahkan sebahagian daerah memiliki kondisi yang lebih buruk, hal ini sungguh bertentangan dengan tujuan demokrasi itu sendiri yang ingin memberikan keamanan, kesejahteraan dan keadilan kepada masyarakat kita bisa menyaksikan dari pertumbuhan kemiskinan yang semakin hari semakin melonjak di beberapa daerah, kekerasan massa yang sewaktu-waktu dapat meledak baik setelah pilkada maupun sebelumnya. Semua itu disebabkan karena desentralisasi kekuasaan dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk menjadi penindas-penindas baru ditingkat lokal baik itu sebagai pemain politik busuk untuk melayani kepentingan pribadinya maupun untuk menghamba kepada kepentingan para pemodal yang telah membiayai kampanye politiknya, sehingga rakyatlah yang harus menanggung itu semua.
DIMANA KAUM INTELEKTUAL
Mengharapkan peran kaum intelektual dalam setiap problem kebangsaan adalah sautu hal yang harus kita lakukan, karena bagaimanapun perjalanan bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran kaum intelektual. Namun dalam konteks sekarang ini intelektual itu bukanlah suatu hal yang sangat diharapkan karena justru yang menghancurkan juga negeri ini adalah kaum intelektual juga. Sehingga kita harus membedakan antara intelektual picisan dan intelektual organic. Begitupula dalam konteks kemahasiswaan yang selama ini disebut bagian orang-orang intelektual atau idealis, justru sebahagian besar adalah pelacur-pelacur intelektual di negeri ini. Kalau yang ada di tempat lokalisasi, mungkin hanya maaf menjilat pantat-pantat pejabat yang datang akan dan tidak terlalu merugikan kepentingan umum akan tetapi pelacur intelektual sudah menjelit pantatnya pejabat malah merugikan lagi rakyat.
Dalam pelaksanaan pilkada misalnya, tidak sedikit orang-orang intelektual bahkan mahasiswa yang terlibat menjadi team sukses yang nyata-nyata diketahui bahwa politik yang dilaksanakan adalah politik busuk sebagaimana indikator di atas. Belum lagi aksi-aksi yang mereka lakukan justru mendukung kebijakan pemerintah daerah yang melakukan pemerasan terhadap rakyat. Hal ini justru menyurutkan harapan kita akan peran kaum intelektual atau mahasiswa dalam perbaikan pelaksanaan demokrasi lokal. Sedikit untuk mengurangi kejengkelan kita mengatakan bahwa wajar negeri ini banyak pelacurnya intelektualnya, negaranya sendiri adalah Negara pelacur intelektual, lihat saja pemerintah telah menyetujuai resolusi PBB tentang sanksi iran yang telah menjilat pantat AS.
Akan tetapi tumbuhnya api perlawanan intelektual atau mahasiswa organic yang minoritas itu adalah harapan kita semua. Pertama kita masih mengharapkan kepada mereka akan pengawalannya terhadap pelaksanaan demokrasi lokal, paling tidak dengan senantiasa mengungkap dan mendiskusikan kebusukan-kebusukan politik yang ada pada lokalitas daerahnya masing-masing. Dari diskusi itulah pengawalan akan harapan demokrasi lokal dapat kita manfaatkan menjadi peluang untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan, dengan berusaha meminimalisir segala efek yang ada. Kedua kita juga masih mengharapkan adanya sikap kelembagaan mahasiswa kalau memang orang-orang yang duduk disana belum terkontaminasi oleh penguasa lokal yang menindas, untuk mengambil sikap yang jelas terhadap kepemihakan terhadap rakyat. Paling tidak menjadi motifator, inspirator, katalisator, dan profokator kalau perlu. Kita tunggu…………